SEARCHING THIS BLOGGER

Rabu, 30 Juni 2010

PSIKOGRAFI AGAMA (Realitas Tanpa Nama, Nama Tanpa Realitas) Episode 2

Sebenarnya, tak perlu ada yang dipermasalahkan ketika di kalangan Umat Islam bergulir wacana Pembaharuan atau dalam bahasa keren yang sering dilontarkan adalah Revolusi Islam. Namun, sejak bergulirnya wacana ini seolah ada suatu kontradiktif antara si pelontar yang menghendaki perubahan di tubuh Islam dengan mereka yang cenderung memeganf teguh pemahaman prinsipil mereka yang berkutat di wilayah normatif saja. Seolah ada suatu dikotomi dengan hadirnya wacana seperti ini. Maksud dikotomi saya ialah, seolah adanya dua generasi yang satu menghendaki dan yang lain tidak menghendaki Revolusi itu sendiri.

Dua generasi ini pada dasarnya mempunyai satu tujuan yang sama, tapi berbeda jalan, cara dan wilayah. Generasi pembaharu yang lazim kita kenal dengan istilah modernis atau reformis cenderung mengeinginkan perubahan dengan tidak hanya menerima pemahaman tentang keislaman secara taken for granted, tetapi ia senantiasa mengadakan proses kritisasi terhadap turats-turas keislaman yng dipandang sudah tidak sejalan lagi dengan konteks yang ada. baik konteks sosial, kultural, struktural, dll. Namun, buan berarti mereka menafikan tradisi keislaman dahulu yang baik, melainkan mereka mencoba mendobrak pemahaman Umat Islam sekarang yang cenderung berkutat pada masalah ritus semata.

Mereka beranggapan bahwasanya pemahaman seperti ini terjadi karena umat islam sendir yang lebih sering membanggakan landasan normativitas semata tanpa mau mencoba melirik sisi historis dari suatu pemahaman keislaman yang ada. alhasil, ketika dibenturkan dengan sebuah perbedaan maka cenderung ingin memaksakan kehendak kita yang pada dasarnya berbeda dengan yang lain.

Senantiasa dan selalu ada perbedaan bahkan pertentangan yang mencolok antara kedua generasi tersebut. Yang satu mengeinginkan revolusi dan yang lainnya beranggapan bahwa tak perlu revolusi melainkan harus ada realisasi yang nayata terhadap pemahaman kita. Mengenai hal seperti ini saya reflesikan melalui sebuah kisah di bawah ini, simaklah kawan!!!

Di suatu pemukiman yang padat penduduk, terdapatlah dua orang pemuda yang sekiranya berdasarkan penerawangan mam laurens kedua pemuda itu baru saja lulus SMA. Desa yang mereka tempati terkenal pula sebagai desa yang kumuh, miskin kota, dan jauh dari peradaban dunia. Prihatin sekali!!!
Melihat keadaan sekitarnya, mereka merasa prihatin dengan keadaan penduduk di desa tempat mereka tinggal. Ingin sekali mereka memberikan suatu kontribusi yang nyata untuk perubahan desa mereka.

Analisis sosialnya, mereka hendak merubah pemahaman masyarakat sekitar mengenai hidup. Yang semula hidup bagi penduduk tersebut adalah satu, maka sekarang harus dua. Yang semula hidup itu pahit, maka sekrang harus berbagai rasa. Yang semula hidup itu sedih, maka sekarang senang. Dan begitulah!! Dengan melihat konteks sosial, kultural, struktural, budaya, ekonomi, dll yang ada di desa tersebut. Terciptalah suatu konsepsi pemahaman dalam rangka menciptakan perubahan sosial yang mendasar dalma kehidupan mereka.

Suatu ketika, terlintaslah dala benak pikiran pemuda itu, yang juga merupakan proyek mimpinya, untuk mengadakan suatu perubahan terhadap desa mereka. Mereka berdua sepakat dengan ide atau gagasan seperti itu. lantas, untu merealisasikan gagasan itu, kedua pemuda tersebut mempunyai cara dan jalan tersendiri. Pemuda A, cenderung menginginkan suatu perubahan dengan jalan memberikan pemahaman secara konsepsional terlebih dahulu mengenai taraf kehidupan masyarakat sekitar. Ia awali dengan diadakannya suatu penyuluhan tentang aspek-aspek kehidupan masyarakatnya. Misal penyuluhan tentang ekonomi kerakyatan, penyuluhan kesehatan, dan penyuluhan bantuan ekonomi dan sosial. tak sia-sia, penyuluhan-penyuluhan yang ia lakukan berbuah manis. Masyarakat seolah mempunyai ghiroh tersendiri dalam mengarungi kehidupan mereka. Alhasil, masyarakat bisa semakin mengerti dengan apa yang harus mereka lakukan. Namun, sayangnya, penyuluhan itu hanya sebatas penyuluhan. Tak ada bentuk realis yang signifikan. Ketika mencapai suatu tataran parktisnya pemuda A kesulitan dengan rencananya itu.

Beda halnya dengan Pemuda B, ia awali gagasannya itu dengan konsep pemikiran Out Of THE BOX. Suatu pola pemikiran kreatif yang keluar dari kebiaasaan orang-orang yang ada. ia memeperlihatkan bagaimana dari suatu barang yang bekas yang dianggap tidak ada artinya bisa menjadi suatu basis ekonomi kerakyatan. Ia perlihatkan uswah keutamaan kehidupan sosial dibanding dengan personal authority. Dan begitulah!! Alhasil, melihat kecakapan pemuda B itu penduduk sekitar merasa tertarik hingga akhirnya masyarakat menginginkan hal serupa yang dilakukan pemuda. Dalam arti bagaimana caranya mereka bisa memanfaatkan limbah yang ada menjadi suatu yang berharga. Akhirnya, pemuda itupun hendak memberikan suatu penyuluhan dengan konsep steping-continuity. Yakni, menjadikan desa tersebut sebagai desa binaan yang harus dibina secara bertahap dan terus-menerus. Tidak ada hambatan sedikitpun dengan cara yang ia lakukan. Aplikasinya ia lakukan dengan mudah. Karena ia menekankan kepada masyarakat supaya berfikri OUT OF THE BOX maka pada tataran praktikalnya ia sukses. Masyarakat bisa memanfaatkan apa saja yang ada di depan mata menjadi sesuatu yang berharga. Begitulah!!!

Mungkin, kita bisa mengambil suatu refleksi diri bagaimana gagasan perubahan yang ingin mereka lakukan, dan tentunya dengan cara dan hasil yang berbeda pula. Pemuda A cenderung konsepsional dan mempunyai suatu kesulitan ketika hendak merealisasikan konsepsinya. Alhasil, ia terkungkung dan lebih jauh masyarakatnya pun terkungkung dengan konsepsi yang ada. sementara pemuda B gagasannya itu ia awali dengan pemahaman yang parktikal. Bukan tanpa konsep ia lakukan perubahan itu. tapi prosesinya ia tekankan dengan melihat konteks sosial masyarakat yang ada. sehingga, ia tak kesulitan dalam membina mayarakat itu untuk keluar dari suatu ketertinggalan. Dengan proses yang panjang dan berkepanjangan. Artinya, ketika kita menggulirkan suatu gagasan jangan sampai gagasan itu hanya menjadi sebuah nama tanpa adanya realitas yang berarti. Tapi gagasan tersebut walaupun tanpa nama harus bisa mnejadi suatu realitas.

Harus ada semacam kesadaran dalam diri kita yang bukan hanya kesadaran konsepsi semata tapi juga kesadaran praksis mengenai kondisi sosial di masyarakat kita. Begitu pun dalam islam. Haruslah kita memahami islam bukan dari satu sisi saja. Terlalu picik jika kalau memang kita berfikiran seperti itu. tapi lihatlah kondisi sosial di sekeliling kita. Begitu banyak hal yang harus kita fahami.

Dan revolusi bukan semata revolusi tapi revolusi harus realis dan berarti.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar