SEARCHING THIS BLOGGER

Senin, 28 Juni 2010

Antara Ra’yu dan Firqah Ridwan Rustandi (mahasiswa KPI 09 UIN SGD BDG)

Bukan sesuatu yang asing lagi bahwa eksistensi umat islam dalam menggunakan akal (ra’yu) sering kali mengantarkan umat islam sendiri pada pemahaman makna yang berbeda. Umat islam diperintahkan oleh Allah untuk memanfaatkan potensi akal yang telah Allah berikan kepadanya. Bahkan, potensi akal itu menjadi nilai lebih yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk yang lainnya. Kalau kita analisis lebih dalam lagi, kita bisa menyimpulkan bahwa Allah menciptakan akal bagi kita sebagai modal untuk memelihara alam semesta ini.
Allah senantiasa mengisyaratkan manusia melalui literatur kalamnya, agar kita senantiasa menggunakan potensi Ra’yu kita. Banyak ayat-ayat Al-qur’an dalam berbagai redaksi memerintahkan kepada kita sebagai manusia, terlebih sebagai umat islam untuk mengembangkan potensi akal tersebut. Baik itu, dengan menggunakan redaksi Ta’qilun, tatafakkarun, tadzabbarun, tadzakkirun, afala ta’qilu, la’allakum tatafakkarun, sampai dengan potensi ulul albab. Ini mengindikasikan bahwasanya peranan akal dalam kehidupan manusia begitu signifikan. Dengan potensi akal yang kaya, manusia bisa mensejahterkan kehidupannya. Manusia bisa memanfaatkan potensi alam yang begitu melimpahnya dengan akal yang ia miliki. Namun, alangkah baiknya jika akal tersebut manusia pergunakan untuk menjaga kelestarian alam dan untuk kemashlahatan manusia dan makhluk yang lainnya. Namun, tak sedikit pula manusia yang kurang bijak dalam menggunakan potensi akal itu, sehingga bukan kebaikan yang ia lakukan melainkan kerusakan yang ia adakan. Padahal dengan jelas Allah memerintahkan kita untuk menjaga alam semesta ini, seperti Firman-Nya dalam Q.s Al-Baqarah ayat 10.
Namun, di tengah potensi akal yang begitu banyaknya, sering kali terjadi firqah atau perpecahan di kalangan umat islam sendiri. Umumnya, firqah itu terjadi hanya karena adanya Ikhtilaf dari pemahaman mereka terhadap suatu permasalahan. Satu sama lain saling mengklaim bahwa hasil pemikirannya yang paling benar tanpa mau mendengarkan dan menhargai buah hasil pemikiran umat yang lainnya. Pertanyaannya, apakah kebenaran itu hanya milik sebagain golongan? Atau mungkin milik semua golongan? Apa sebenarnya tujuan Allah menciptakan akal bagi manusia?
Islam memberikan nilai tinggi terhadap otoritas akal manusia dalam memahami sesuatu. Dan sering kali akal yang Allah berikan kita jadikan sebagai media untuk menafsirkan kalam-kalam Allah, baik itu yang berhubungan dengan Syariat (masalah ibadah dan muamalah) maupun yang berkaitan dengan Aqidah. Ikhtilaf atau perbedaan pendapat dalam memahami teks Al’qur’an sering kali membawa perpecahan (Firqah) di kalangan umat Islam sendiri. Kebanyakan dari kita senantiasa mengklaim bahwa hasil pemikiran kita adalah paling benar. Memang, pemahaman setiap manusia terhadap suatu permasalahan berbeda satu sama lain. Belum adanya rasa saling menghargai di tubuh umat islam sendiri sering kali menjadi faktor penyebab (result) terjadinya perpecahan itu sendiri. Padahal begitu jelas Allah memberikan gambaran akibat dari perbedaan pendapat tersebut. Ikhtilaf membawa kita pada firqah (perpecahan), dan firqah tersebut akan membawa kita pada kebinasaan.
Ada dua hal yang sering kali menyebabkan umat islam berbeda pemahaman dalam menafsirkan teks Al-Qur’an, yaitu penafsiran terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah (syariat), dan penafsiran terhadap ayat-ayat Aqidah. Pertama, Permasalahan seputar ibadah begitu intens dibicarakan bahkan samapai diperdebatkan. Permasalahan ini menyangkut dengan masalah Fiqhiyyah. Dalam menafsirkan satu ayat saja tentang shalat, umat islam berbeda pendapat mengenai gerakan dan ucapan shalat yang harus dilakukan. Saat nabi masih Hidup pun perbedaan pemahaman sudah terjadi di kalangan sahabat dan tabi’in. Dan hal ini semakin kentara terasa ketika nabi telah meninggal dunia. Mungkin saat nabi masih ada, jikalau ada perbedaan pemahaman umat islam saat itu bisa lengsung menanyakan perihal ikhtilaf tersebut pada Nabi, namun ketika Nabi telah tiada, menghadapi ikhtilaf tersebut hanya berdasar pada hasil Ra’yu(akal) yang disandarkan pada Al-Qur’an dan sunnah. Penggunaan akal dalam menafsirkan masalah-masalah fiqhiyyah ini lazim kita kenal sebagai ijtihad. Metode ijtihad yang rosul perintahkan kepada kita menjadi salah satu sumber kehidupan umat islam setelah Al-qur’an dan sunnah. Bahkan Rosul pernah bertanya kepada salah seorang sahabat perihal penetapan hukum yang akan ia gunakan, Rosul memerintahkan kepadanya supaya menggunakan ra’yu dalam menetapkan suatu permasalahan jikalau permasalahan tersebut tidak ada referensi yang jelas dalam Al-qur’an dan sunnah. Namun, tentunya dalam menggunakan akal tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang baku yang telah ditetapkan. Dari ikhtilaf-ikhtilaf tersebut, umat islam terbagi menjadi beberapa madzhab yang mempunyai penafsiran yang berbeda yang berkaitan dengan permasalahan ibadah. Ada beberapa pendapat yang mengataka bahwasanya terdapat lebih dari 500 madzhab yang ada dalam umat islam sendiri yang berkaitan dengan permasalahan ibadah atau masalah fiqhiyyah. Namun kemudian hanya sekitar 12 atau mungkin 4 madzhab saja yang kita kenal sekarang. Dari 4 madzhab saja satu sama lain berbeda pemahaman dan penafsiran, dan itu menunjukkan bahwasanya begitu luas potensi akal yang telah Allah berikan kepada kita.
Kedua, ikhtilaf dalam hal pemahaman ayat-ayat Aqidah. Permasalahan seputar ini intens kita bicarakan dalam ilmu kalam. Para mutakallimin mencatat bahwasanya pemahaman umat islam dalam menafsirkan ayat-ayat aqaid atau yang berhubungan dengan keyakinan mengantarkan umat islam pada berbagai sekte aliran yang pasti mempunyai pemahaman dan penafsiran sendiri. Sejarah mencatat, dalam hal ini umat islam terbagi pada berbagai sekte Aliran. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi permasalahan aqidah ini sering kali mengantarkan umat islam pada perpecahan yang begitu mendalam, sehingga sering kali satu sama lain saling menyalahkan yang lainnya dan menganggap bahwa yang bukan dari golongannnya termasuk kafir. Hal ini terjadi pada aliran-aliran kalam yang ada sejak dulu, baik itu syiah, khawarij, murjiah, jabariah, qadariah, mu’tazilah, dll. Perpecahan umat islam menjadi berbagai golongan ini mulai terjadi pada saat perang shiffin yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah yang saat itu menginginkan jabatan amirul’mukminin. Sejak saat itu muncul berbagai sekte aliran yang mengkafirkan golongan satu sama lain. dan perkembangannya setiap golongan mengklaim bahwa golongannya lah yang paling benar dan sesuai dengan al-qur’an dan sunnah, terutama yang berkaitan dengan masalah keyakinan mereka. Nabi pernah mengisyaratkan bahwa di akhir zaman umat islam akan terbagi menjadi 73 golongan dan yang satu golongan akan masuk surga yaitu Ahlu sunnah Wal Jamaah. Nah, hadits tersebut sering kali dijadikan alasan untuk mengklaim kebenaran dari golongannya. Mereka seringkali mengatakan bahwa yang disebut ahlu sunnah wal jamaah disana adalah golongan mereka. Asy’ariyah mengklaim bahwa dialah Ahlu sunnah wal jamaah, begitupun murjiah, jabariah, muktazilah dll.
Tampaknya, permasalahan firqah ataupun ikhtilaf yang terjadi di kalangan umat islam dalam penggunaan ra’yu jangan kita jadikan sebagai benalu dalam proses penghambaan kita, melainkan kita jadikan sebagai khazanah ilmu yang akan memperkaya pengetahuan kita. Boleh saja kita berbeda dalam masalah ibadah(fiqh) karena Allah memberikan pemahaman yang berbeda dalam akal kita, asal saja kita bisa wise dan menghargai terhadap perbedaan yang ada. Toleransi adalah sakap yang penting dalam menghadapi perbedaan itu. Boleh saja kita berbeda dalam hal keyakinan kita, tapi jangan sampai mengantarkan kita pada faham Primordial yang berlebihan merasa golongan sendiri yang paling benar. Tapi itu kita jadikan sebagai media hikmah yang harus semakin memperkuat ukhuwah di antara kita. Satu hal yang perlu kita ingat, jangan sampai perbedaan pemahaman (ra’yu) mengantarkan kita pada sebuah firqah atau perpecahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar