Saat ini, lagi-lagi kita hanya bisa terbuai dengan segala perkembangan zaman yang ada. Strategi pendangkalan pemahaman kita terhadap Islam yang diterapkan oleh kaum yahudi dan Nahrani telah berhasil diwujudkan. Sampai kapanpun mereka tak akan rela melihat Islam mampu mewujudkan suatu kondisi relasional tauhid yang terwujud melalui ukhuwah atau kebersamaan yang nyata. persatuan yang kemudian tercipta di kalangan Umat Islam menjadi semacam ancaman bagi keberlangsungan propaganda mereka terhadap Umat Islam. Karenanya, untuk mencegah persatuan seperti itu, mereka senantiasa melakukan semacam gerakan perubahan untuk pendangkalan aqidah dan pemahaman Umat Islam terhadap Islam sendiri. Dan sekarang, kita bisa melihat dengan mata kita sendiri bahkan mungkin kita bisa merasakannya, betapa berhasilnya gencaran dakwah yahudi dan nashrani yang dilakukan. Pertanyaannya sekarang, sampai kapan kita terbuai dengan propaganda mereka (baca: Yahudi dan Nashrani)? Adakah keinginan dalam diri kita untuk mengadakan semacam revolusi pemahaman kita terhadap Islam, sehingga kita bisa memahami Islam secara universal? Siapakah yang kelak akan membawa Islam ke arah perubahan tersebut? Tentu, pertanyaan semacam itu pernah bersarang dalam diri kita. Permasalahannya adalah ghiroh harakat yang kita miliki hanya sebatas wacana saja, belum mampu mencapai aplikasi yang nyata dari semua harapan yang kita inginkan.
Tampaknya, melihat hal seperti ini. Rekonstruksi pemahaman guna pembaharuan harus senantiasa kita lakukan. Jangan sampai kita kehilangan arah kehidupan yang sudah secara nyata mempunyai pegangan yang kuat secara konsepsional.
Pembebasan Umat
Gencaran imperialisme, kolonialisme dan sekularisme yang dilakukan barat terhadap kita menjadi sebuah pijakan awal dari semua pembaharuan yang kita lakukan. Pembaharuan tersebut menjadi semacam titik awal dari sebuah rekonstruksi pemikiran. Umat Islam yang kehilangan keberaniannya pasca kebangkitan eropa, menyebabkan umat-nya hanya terpaku pada teks saja, dengan mengenyampingkan konteks yang ada, berarti mendukung parsialitas pemahaman kita. Alhasil, ketergantungan kita terhadap teks dan menghilangkan konteks rasionalitasnya, menyebabkan kita hanya berkutat pada aspek ritual semata. Sehingga, intelektualitas yang seyogiannya harus digalakan, sebagaimana digalakannya tradisi keilmuan Umat Islam dahulu, kini telah ditinggalkan. Akibatnya, prosesi kritik terhadap pemahaman yang ada terhenti dan menyebabkan sebuah kemandekan intelektual yang lazim kita kenal dengan istilah intellectual stagnation. Kemandekan intelektual seperti itu, menyebabkan kejumudan kita dalam berfikir dan hasilnya adalah Islam yang kita yakini tidak utuh baik secara konsepsi, konteks, dan ajaran. Kejumudan seperti itu mengantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa ijtihad yang dilakukan oleh ulama terdahulu adalah yang paling benar dan relevan. Sehingga, kita tidak pernah mau mengkritisi ijtihad yang ada. Dalam arti kita hanya menjadi seorang muqallid (pengikut) yang serta merta hanya menjadi pengikut yang menerima apa adanya. Tanpa tahu secara teks dan konteks argumentasi dan landasan yang ada di balik ijtihad tersebut. Dan pada akhirnya, dengan kemandekan seperti itu, memunculkan rasa paling benar terhadap ijtihad yang dilakukan. Dan dampak yang terjadi ialah perpecahan di kalangan Umat Islam sendiri. Karena ketika kita dihadapkan pada sebuah perbedaan pendapat dalam ijtihad, kita cenderung tidak bisa menerima perbedaan yang ada. mengklaim bahwa kitalah yang paling benar.
Begitupun dari segi sosial. saat ini, begitu banyak Umat Islam yang hidup di bawah tekanan kehidupan yang mengancam. Secara politis, imperialisme modern yang dilakukan barat terhadap Islam begitu kuat terasa. Islam seolah bisa digerakan kapanpun barat mau. Hal ini terjadi karena Umat Islam tidak mampu menampakan jati dirinya sebagai Islam. Kemunduran Umat Islam secara politis menjadi semacam bomerang bagi Islam sendiri. Dimana, masih kita temui tradisi kanibalisme di kalangan Umat Islam dalam hal politik. Mungkin, hal semacam ini sudah menjadi tradisi di kalangan Umat Islam sendiri. Dimana kekuasaan menjadi semacam alat untuk menguasai kehidupan orang lain. alhasil, ada semacam pemilahan secara sosial antara yang menguasai dan yang dikuasai. Dan pada akhirnya akan muncul golongan yang kuat dan yang lemah. Kemudian, secara ekonomis, Umat Islam jauh di bawah kehidupan yang layak. Aspek sosial yang kebanyakan terlupakan, menjadi faktor utama mengapa banyak Umat Islam yang hidup tidak semestinya. Kalau saja, Umat Islam memprioritaskan kehidupan sosial dibanding dengan ritual saja, maka Islam akan mampu terasa secara universal. Padahal, seharusnya ritualitas yang kita lakukan mempunyai relasi atau keterhubungan dengan aspek sosial kehidupan kita. Munculnya, kaum dhua’fa dan mustadhafin menjadi isyarat belum mampunya Islam menapakan jati dirinya dalam aspek sosial. pemikiran kita hanya berkutat pada ritual semata dan cenderung melupakan intelektual dan sosial. lantas, apa yang harus kita lakukan? Jawabannya ialah kita harus membebaskan diri kita dari belenggu parsialitas pemahaman. Sehingga, prosesi ke arah universalitas bisa kita lakukan.
Islam dan Humanisme
Islam adalah agama pembebas, semua manusia mempunyai hak untuk hidup secara layak. Humanisme dalam Islam senantiasa sejalan dengan perkembangan zaman yang ada. bahkan Islam lebih dari ajaran manapun tentang konsep kemanusiaan. Islam sangat menghargai perikemanusiaan. Islam muncul secara faktual, dimana ketika derajat manusia dipandang begitu rendah. Karenanya, sudah menjadi suatu kewajiban bagi kita sebagai umatnya untuk senantiasa mendahulukan kepentingan sosial di atas kepentingan apapun, sebab hal itu akan memudahkan kita ikut serta meningkatkan martabat manusia di hadapan apapun. Dulu, ketika Marx mempunyai gagasan untuk membebaskan kaum proletarian dari belenggu kelas sosial penjajah, ternyata Islam sudah lebih dulu menerapkan konsep semacam itu. kemudian, ketika barat sekarang menerapkan human right bagi seluruh umat manusia, dan ternyata Islam sudah lebih dulu mengangkat derajat kemanusian. Dari hal ini kita bisa menilai begitu Islam sangat menghargai kemanusiaan. Nilai-nilai humanis dalam Islam mudah sekali kita temukan. Namun, permasalahnnya, lagi-lagi Umat Islam belum mampu menunjukan hal semacam itu.
Hal seperti ini, menjadi sebuah autokritik terhadap Umat Islam sendiri. Islam yang seharusnya menjadi rahmat alam, ternyata hanya sebatas wacana saja dan belum mampu terealisasikan. Islam yang seharusnya menjadi pembebas, ternyata belum mampu membebaskan umatnya dari belenggu kejumudan parsialitas. Hal ini dikarenakan Umat Islam sendiri masih parsial dalm memahami Islam. Harusnya kita malu sebagai Umat Islam dengan keadaan seperti ini. Konsepsi yang kuat tak ada gunanya manakal tidak ada dukungan atau upaya dari para penganut ajarannya untuk merealisasikan konsepsi itu. dan hal pertama yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita bisa membebaskan diri kita dari pemahaman parsial terhadap Islam. Dan jikalau itu bisa kita lakukan, maka Islam bisa terwujud sebagai rahmat yang universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar