SEARCHING THIS BLOGGER

Rabu, 30 Juni 2010

PSIKOGRAFI AGAMA (Realitas Tanpa Nama, Nama Tanpa Realitas) Episode 2

Sebenarnya, tak perlu ada yang dipermasalahkan ketika di kalangan Umat Islam bergulir wacana Pembaharuan atau dalam bahasa keren yang sering dilontarkan adalah Revolusi Islam. Namun, sejak bergulirnya wacana ini seolah ada suatu kontradiktif antara si pelontar yang menghendaki perubahan di tubuh Islam dengan mereka yang cenderung memeganf teguh pemahaman prinsipil mereka yang berkutat di wilayah normatif saja. Seolah ada suatu dikotomi dengan hadirnya wacana seperti ini. Maksud dikotomi saya ialah, seolah adanya dua generasi yang satu menghendaki dan yang lain tidak menghendaki Revolusi itu sendiri.

Dua generasi ini pada dasarnya mempunyai satu tujuan yang sama, tapi berbeda jalan, cara dan wilayah. Generasi pembaharu yang lazim kita kenal dengan istilah modernis atau reformis cenderung mengeinginkan perubahan dengan tidak hanya menerima pemahaman tentang keislaman secara taken for granted, tetapi ia senantiasa mengadakan proses kritisasi terhadap turats-turas keislaman yng dipandang sudah tidak sejalan lagi dengan konteks yang ada. baik konteks sosial, kultural, struktural, dll. Namun, buan berarti mereka menafikan tradisi keislaman dahulu yang baik, melainkan mereka mencoba mendobrak pemahaman Umat Islam sekarang yang cenderung berkutat pada masalah ritus semata.

Mereka beranggapan bahwasanya pemahaman seperti ini terjadi karena umat islam sendir yang lebih sering membanggakan landasan normativitas semata tanpa mau mencoba melirik sisi historis dari suatu pemahaman keislaman yang ada. alhasil, ketika dibenturkan dengan sebuah perbedaan maka cenderung ingin memaksakan kehendak kita yang pada dasarnya berbeda dengan yang lain.

Senantiasa dan selalu ada perbedaan bahkan pertentangan yang mencolok antara kedua generasi tersebut. Yang satu mengeinginkan revolusi dan yang lainnya beranggapan bahwa tak perlu revolusi melainkan harus ada realisasi yang nayata terhadap pemahaman kita. Mengenai hal seperti ini saya reflesikan melalui sebuah kisah di bawah ini, simaklah kawan!!!

Di suatu pemukiman yang padat penduduk, terdapatlah dua orang pemuda yang sekiranya berdasarkan penerawangan mam laurens kedua pemuda itu baru saja lulus SMA. Desa yang mereka tempati terkenal pula sebagai desa yang kumuh, miskin kota, dan jauh dari peradaban dunia. Prihatin sekali!!!
Melihat keadaan sekitarnya, mereka merasa prihatin dengan keadaan penduduk di desa tempat mereka tinggal. Ingin sekali mereka memberikan suatu kontribusi yang nyata untuk perubahan desa mereka.

Analisis sosialnya, mereka hendak merubah pemahaman masyarakat sekitar mengenai hidup. Yang semula hidup bagi penduduk tersebut adalah satu, maka sekarang harus dua. Yang semula hidup itu pahit, maka sekrang harus berbagai rasa. Yang semula hidup itu sedih, maka sekarang senang. Dan begitulah!! Dengan melihat konteks sosial, kultural, struktural, budaya, ekonomi, dll yang ada di desa tersebut. Terciptalah suatu konsepsi pemahaman dalam rangka menciptakan perubahan sosial yang mendasar dalma kehidupan mereka.

Suatu ketika, terlintaslah dala benak pikiran pemuda itu, yang juga merupakan proyek mimpinya, untuk mengadakan suatu perubahan terhadap desa mereka. Mereka berdua sepakat dengan ide atau gagasan seperti itu. lantas, untu merealisasikan gagasan itu, kedua pemuda tersebut mempunyai cara dan jalan tersendiri. Pemuda A, cenderung menginginkan suatu perubahan dengan jalan memberikan pemahaman secara konsepsional terlebih dahulu mengenai taraf kehidupan masyarakat sekitar. Ia awali dengan diadakannya suatu penyuluhan tentang aspek-aspek kehidupan masyarakatnya. Misal penyuluhan tentang ekonomi kerakyatan, penyuluhan kesehatan, dan penyuluhan bantuan ekonomi dan sosial. tak sia-sia, penyuluhan-penyuluhan yang ia lakukan berbuah manis. Masyarakat seolah mempunyai ghiroh tersendiri dalam mengarungi kehidupan mereka. Alhasil, masyarakat bisa semakin mengerti dengan apa yang harus mereka lakukan. Namun, sayangnya, penyuluhan itu hanya sebatas penyuluhan. Tak ada bentuk realis yang signifikan. Ketika mencapai suatu tataran parktisnya pemuda A kesulitan dengan rencananya itu.

Beda halnya dengan Pemuda B, ia awali gagasannya itu dengan konsep pemikiran Out Of THE BOX. Suatu pola pemikiran kreatif yang keluar dari kebiaasaan orang-orang yang ada. ia memeperlihatkan bagaimana dari suatu barang yang bekas yang dianggap tidak ada artinya bisa menjadi suatu basis ekonomi kerakyatan. Ia perlihatkan uswah keutamaan kehidupan sosial dibanding dengan personal authority. Dan begitulah!! Alhasil, melihat kecakapan pemuda B itu penduduk sekitar merasa tertarik hingga akhirnya masyarakat menginginkan hal serupa yang dilakukan pemuda. Dalam arti bagaimana caranya mereka bisa memanfaatkan limbah yang ada menjadi suatu yang berharga. Akhirnya, pemuda itupun hendak memberikan suatu penyuluhan dengan konsep steping-continuity. Yakni, menjadikan desa tersebut sebagai desa binaan yang harus dibina secara bertahap dan terus-menerus. Tidak ada hambatan sedikitpun dengan cara yang ia lakukan. Aplikasinya ia lakukan dengan mudah. Karena ia menekankan kepada masyarakat supaya berfikri OUT OF THE BOX maka pada tataran praktikalnya ia sukses. Masyarakat bisa memanfaatkan apa saja yang ada di depan mata menjadi sesuatu yang berharga. Begitulah!!!

Mungkin, kita bisa mengambil suatu refleksi diri bagaimana gagasan perubahan yang ingin mereka lakukan, dan tentunya dengan cara dan hasil yang berbeda pula. Pemuda A cenderung konsepsional dan mempunyai suatu kesulitan ketika hendak merealisasikan konsepsinya. Alhasil, ia terkungkung dan lebih jauh masyarakatnya pun terkungkung dengan konsepsi yang ada. sementara pemuda B gagasannya itu ia awali dengan pemahaman yang parktikal. Bukan tanpa konsep ia lakukan perubahan itu. tapi prosesinya ia tekankan dengan melihat konteks sosial masyarakat yang ada. sehingga, ia tak kesulitan dalam membina mayarakat itu untuk keluar dari suatu ketertinggalan. Dengan proses yang panjang dan berkepanjangan. Artinya, ketika kita menggulirkan suatu gagasan jangan sampai gagasan itu hanya menjadi sebuah nama tanpa adanya realitas yang berarti. Tapi gagasan tersebut walaupun tanpa nama harus bisa mnejadi suatu realitas.

Harus ada semacam kesadaran dalam diri kita yang bukan hanya kesadaran konsepsi semata tapi juga kesadaran praksis mengenai kondisi sosial di masyarakat kita. Begitu pun dalam islam. Haruslah kita memahami islam bukan dari satu sisi saja. Terlalu picik jika kalau memang kita berfikiran seperti itu. tapi lihatlah kondisi sosial di sekeliling kita. Begitu banyak hal yang harus kita fahami.

Dan revolusi bukan semata revolusi tapi revolusi harus realis dan berarti.

Bersambung...

Selasa, 29 Juni 2010

Harmonisasi teks, Author dan Reader Oleh : Ridwan Rustandi

Orang yang bijak adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu....
-socrates, si dukun gagasan-
Jalaluddin Rakhmat saat mengawali tulisannya tentang problematika dan refleksi kontemporer umat islam dewasa ini yang termaktub dalam bukunya Islam Aktual, dengan sebuah pertanyaan: Adakah evolusi aktualisasi nilai-nilai islam oleh umatnya yang dapat di data dan diproyeksikan ke masa depan?
Saat ini, umat islam telah kehilangan taringnya. Kehilangan kepribadiannya, dan kehilangan pemahaman yang kaafah terhadap islam. Umat islam lebih cenderung mengutamakan doktrinalisasi pemahaman mereka terhadap umat islam lainnya yang mungkin berbeda pemahaman dengannya. Penulis menyadari bahwa saat ini umat islam cenderung bersikap apati terhadap pemahaman yang datang dari luar, yang mungkin bukan berasal dari pribadinya, golongannya atau organisasi keagamaan yang diikutinya. Alhasil, dengan sikap antipatinya itu tak ayal menjadikan dirinya bersikap tertutup terhadap pemahaman lain mengenai islam. Dan yang lebih dikhawatirkannya lagi ialah adanya sikap skeptis dari umat islam mengenai islam itu sendiri, karena mungkin islam yang ia pahami tidak sesuai dengan islam yang telah dipahami oleh orang lain.
Kenyataan, islam secara konsepsi mempunyai landasan yang tsiqah, landasan yang tak mungkin disangsikan lagi secara yuridis oleh umat islam. Namun, apa yang menyebabkan umatnya bersikap antipati? Jawabnya ialah mereka (umat islam) cenderung belum mampu mengaktualisasikan konsep islam yang tertera dalam Al-qur’an maupun Sunnah, dalam kehidupan nyata. ketertutupan yang mereka pertahankan pada akhirnya akan mendatangkan suatu ikhtilaf yang berkepanjangan. Ikhtilaf yang bisa menjadikan firqah di kalangan umat islam sendiri. Sehingga, hal ini menjadi “PR” bagi kita semua agar bisa membuktikan Islam sebagai rahmat yang universal.
Antara teks, Author, dan Reader
Dalam buku Islamic studies karya M. Amin Abdullah hal ihwal mengenai Pendekatan Hermeunetik Dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan, kajian tentang proses Negosiasi Komunitas pencari Makna Teks, Pengarang dan Pembaca, penulis , memperoleh suatu ikhtisar bahwasanya umat islam sekarang cenderung bersikap despotism(yaitu sikap sewenang-wenang dalam menafsirkan teks). Umat islam yang penulis maksud ialah mereka yang senantiasa bergelut dalam pergumulan pemikiran untuk menetapkan hukum islam. Mereka (baik pribadi, tokoh masyarakat, golongan, organisasi) yang merasa mempunyai hak untuk melakukan ijtihad dalam menetukan hukum islam, khususnya dewasa ini cenderung mengatasnamakan otoritas pengarang (author), dalam hal ini otoritas Tuhan untuk mengatakan bahwa apa yang kemudian mereka tetapkan adalah hasil kesesuaian antara dirinya (pembaca) dengan teks yang ia tafsirkan. Sikap despotism yang ia tonjolkan tak ayal menyebabkan dirinya bersikap tertutup terhadap penafsiran yang datang bukan dari dirinya. Alhasil, si pembaca ini yang merasa dirinya paling tahu tentang makna teks dan keinginan pengarang senantiasa mempertahankan ketertutupan yang sekarat, Toffler. Maksudnya, jika ada penafsiran yang berbeda dengan dirinya (si pembaca), mereka cenderung menolak dan merasa interpretasi yang ia kemukakan palimh relevan dengan kondisi yang ada, paling sesuai dengan apa yang diinginkan oelh pengarang, dalam hal ini otoritas pembuat Teks yaitu Tuhan.
Adanya sikap memaksa kepada para pengikut teks atau yang kita kenal sebagai penerima fatwa (community of interpreters), menjadi bukti ketertutupan para pembaca yang kita kenal dengan si penetap hukum. Padahal, kalau saja kita paham dengan konsep “la ikroha fiddin” dalm Islam, maka seyogiannya mereka tidak akan pernah memaksakan interpretasi yang mereka pahami kepada umat islam yang bertyindak sebagai penerima fatwa. Dalam buku ini pun dijelaskan bahwa reader yang mengatasnamakan kewenangan Author dalam memahami teks dan cenderung antipatis terhadap interpretasi yang lain pada akhirnya akan mencapai tatran intelllectual stagnation atau kebuntuan intelektual dalam memahami teks. Alhasil, sikap picik, parokial mind, kurang bijaksana akan mencuat dalam dirinya karena ia merasa paling benar dan paling tahu mengenai teks yang ada.
Ketertutupan VS keterbukaan Makna
     
“dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui.”
Jangan merasa diri paling benar, itulah kata yang penulis bisa tangkap dalam uraian singkat buku M.Amin Abdullah perihal problematika di atas. Tampaknya, M. Amin Abdullah mengkritisi permasalahan yang mencuat di kalangan umat islam sekarang. Dan hal ini pun sesuai dengan refleksi Jalaluddin Rakhmat melihat keadaan umat Islam sekarang. Keduanya, melihat realitas bahwa ketertutupan umat islam sekarang tengah mencapai titik kulminasi yag sensitif. Maksudnya, memandang keadaan tertutup umat islam yang saling mengecam bahwa ia adalah yang paling bid’ah, ia yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan (divine intructions), bahkan pada akhirnya saling mengkafirkan yang timbul dewasa ini. Adanya unsur memaksa dalam pemahaman, bahwa ia yang berbeda harus sama dengan pemahaman kita menunjukan ketertutupan umat islam. Kalau demikian adanya, sikap memaksa itu menyebabkan terbelenggunya potensi akal yang Allah berikan kepada manusia untuk memahami islam melalui teks dan konteks yang ada.
Ayat di atas, penulis kira sesuai dengan konteks yang ada sekarang. Ketika merasa diri paling benar, paling pandai dan paling segalanya dibanding yang lain akan memunculkan sikap antipati, parokial, dan intellectual stuck. Dan ini sesuai dengan pernyataan seorang Socrates yang menyatakan bahwa seorang yang bijaksana adalah mereka yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Jika konsep seperti itu ada dalam diri umat islam yang akan terwujud ialah keterbukaan makna dalam memahami teks. Potensi Tuhan berikan tidak akan sia-sia kita dapatkan.
Harmonisasi Teks, Author, dan Reader
Mengapa penulis memberi judul seperti di atas dalam artikel ini? Jawabnya ialah karena dalam menafsirkan sesuatu senantiasa adanya kesesuaian antara teks yang ditafsirkan, Pengarang teks (Author) dan Pembaca Teks ( Reader). Ketika teks ditulis oleh Pengarang ( Author) dalam hal ini Tuhan, senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman yang ada sehingga memungkinkan pembaca mempunyai penafsiran yang berbeda satu sama lain mengenai teks tersebut, terlepas dari penafsiran tersebut terpengaruhi oleh keadaan dan lingkungan sosial.
Munculnya keharmonisan antara ketiga elemen di atas akan semakin mempermudah kita dalam memahami konsepsi islam sebagai rahmat yang universal. Islam tidak bersifat parsial dan islam bukan pula milik satu golongan saja. Tapi islam adalah aturan yang universal, berlaku bagi siapa saja yang yakin dengannya dan pasti berlaku sepanjang kehidupan ini. Kesesuaian yang kemudian tercipta tidak akan pernah mengantarkan kita untuk terjebak pada pamahaman parokial dan authorianisme, yakni sikap yang menonjolkan despotism dalam meng-interpretasi.
Baik, M. Amin Abdullah maupun pembaharu-pembaharu yang lainnya meyakini bahwa islam adalah rahmat dan rahmat itu akan terwujud manakala muncul cahaya kebenaran dari tindakan para pelakunya, sehinggga konseptual dalam islam bisa teraktualisasikan dalam setiap sendi kehidupan dan kondisi zaman yang ada.
Semoga, kita adalah ia yang selalu menggunakan potensi yang Tuhan berikan untuk memahami islam secara utuh dan senantiasa bersikap terbuka terhadap apapun tentang islam dan pada akhirnya dengan sikap seperti itu kita akan mampu mewujudkan islam yang rahmatan lil alamin.

Senin, 28 Juni 2010

Antara Ra’yu dan Firqah Ridwan Rustandi (mahasiswa KPI 09 UIN SGD BDG)

Bukan sesuatu yang asing lagi bahwa eksistensi umat islam dalam menggunakan akal (ra’yu) sering kali mengantarkan umat islam sendiri pada pemahaman makna yang berbeda. Umat islam diperintahkan oleh Allah untuk memanfaatkan potensi akal yang telah Allah berikan kepadanya. Bahkan, potensi akal itu menjadi nilai lebih yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk yang lainnya. Kalau kita analisis lebih dalam lagi, kita bisa menyimpulkan bahwa Allah menciptakan akal bagi kita sebagai modal untuk memelihara alam semesta ini.
Allah senantiasa mengisyaratkan manusia melalui literatur kalamnya, agar kita senantiasa menggunakan potensi Ra’yu kita. Banyak ayat-ayat Al-qur’an dalam berbagai redaksi memerintahkan kepada kita sebagai manusia, terlebih sebagai umat islam untuk mengembangkan potensi akal tersebut. Baik itu, dengan menggunakan redaksi Ta’qilun, tatafakkarun, tadzabbarun, tadzakkirun, afala ta’qilu, la’allakum tatafakkarun, sampai dengan potensi ulul albab. Ini mengindikasikan bahwasanya peranan akal dalam kehidupan manusia begitu signifikan. Dengan potensi akal yang kaya, manusia bisa mensejahterkan kehidupannya. Manusia bisa memanfaatkan potensi alam yang begitu melimpahnya dengan akal yang ia miliki. Namun, alangkah baiknya jika akal tersebut manusia pergunakan untuk menjaga kelestarian alam dan untuk kemashlahatan manusia dan makhluk yang lainnya. Namun, tak sedikit pula manusia yang kurang bijak dalam menggunakan potensi akal itu, sehingga bukan kebaikan yang ia lakukan melainkan kerusakan yang ia adakan. Padahal dengan jelas Allah memerintahkan kita untuk menjaga alam semesta ini, seperti Firman-Nya dalam Q.s Al-Baqarah ayat 10.
Namun, di tengah potensi akal yang begitu banyaknya, sering kali terjadi firqah atau perpecahan di kalangan umat islam sendiri. Umumnya, firqah itu terjadi hanya karena adanya Ikhtilaf dari pemahaman mereka terhadap suatu permasalahan. Satu sama lain saling mengklaim bahwa hasil pemikirannya yang paling benar tanpa mau mendengarkan dan menhargai buah hasil pemikiran umat yang lainnya. Pertanyaannya, apakah kebenaran itu hanya milik sebagain golongan? Atau mungkin milik semua golongan? Apa sebenarnya tujuan Allah menciptakan akal bagi manusia?
Islam memberikan nilai tinggi terhadap otoritas akal manusia dalam memahami sesuatu. Dan sering kali akal yang Allah berikan kita jadikan sebagai media untuk menafsirkan kalam-kalam Allah, baik itu yang berhubungan dengan Syariat (masalah ibadah dan muamalah) maupun yang berkaitan dengan Aqidah. Ikhtilaf atau perbedaan pendapat dalam memahami teks Al’qur’an sering kali membawa perpecahan (Firqah) di kalangan umat Islam sendiri. Kebanyakan dari kita senantiasa mengklaim bahwa hasil pemikiran kita adalah paling benar. Memang, pemahaman setiap manusia terhadap suatu permasalahan berbeda satu sama lain. Belum adanya rasa saling menghargai di tubuh umat islam sendiri sering kali menjadi faktor penyebab (result) terjadinya perpecahan itu sendiri. Padahal begitu jelas Allah memberikan gambaran akibat dari perbedaan pendapat tersebut. Ikhtilaf membawa kita pada firqah (perpecahan), dan firqah tersebut akan membawa kita pada kebinasaan.
Ada dua hal yang sering kali menyebabkan umat islam berbeda pemahaman dalam menafsirkan teks Al-Qur’an, yaitu penafsiran terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah (syariat), dan penafsiran terhadap ayat-ayat Aqidah. Pertama, Permasalahan seputar ibadah begitu intens dibicarakan bahkan samapai diperdebatkan. Permasalahan ini menyangkut dengan masalah Fiqhiyyah. Dalam menafsirkan satu ayat saja tentang shalat, umat islam berbeda pendapat mengenai gerakan dan ucapan shalat yang harus dilakukan. Saat nabi masih Hidup pun perbedaan pemahaman sudah terjadi di kalangan sahabat dan tabi’in. Dan hal ini semakin kentara terasa ketika nabi telah meninggal dunia. Mungkin saat nabi masih ada, jikalau ada perbedaan pemahaman umat islam saat itu bisa lengsung menanyakan perihal ikhtilaf tersebut pada Nabi, namun ketika Nabi telah tiada, menghadapi ikhtilaf tersebut hanya berdasar pada hasil Ra’yu(akal) yang disandarkan pada Al-Qur’an dan sunnah. Penggunaan akal dalam menafsirkan masalah-masalah fiqhiyyah ini lazim kita kenal sebagai ijtihad. Metode ijtihad yang rosul perintahkan kepada kita menjadi salah satu sumber kehidupan umat islam setelah Al-qur’an dan sunnah. Bahkan Rosul pernah bertanya kepada salah seorang sahabat perihal penetapan hukum yang akan ia gunakan, Rosul memerintahkan kepadanya supaya menggunakan ra’yu dalam menetapkan suatu permasalahan jikalau permasalahan tersebut tidak ada referensi yang jelas dalam Al-qur’an dan sunnah. Namun, tentunya dalam menggunakan akal tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang baku yang telah ditetapkan. Dari ikhtilaf-ikhtilaf tersebut, umat islam terbagi menjadi beberapa madzhab yang mempunyai penafsiran yang berbeda yang berkaitan dengan permasalahan ibadah. Ada beberapa pendapat yang mengataka bahwasanya terdapat lebih dari 500 madzhab yang ada dalam umat islam sendiri yang berkaitan dengan permasalahan ibadah atau masalah fiqhiyyah. Namun kemudian hanya sekitar 12 atau mungkin 4 madzhab saja yang kita kenal sekarang. Dari 4 madzhab saja satu sama lain berbeda pemahaman dan penafsiran, dan itu menunjukkan bahwasanya begitu luas potensi akal yang telah Allah berikan kepada kita.
Kedua, ikhtilaf dalam hal pemahaman ayat-ayat Aqidah. Permasalahan seputar ini intens kita bicarakan dalam ilmu kalam. Para mutakallimin mencatat bahwasanya pemahaman umat islam dalam menafsirkan ayat-ayat aqaid atau yang berhubungan dengan keyakinan mengantarkan umat islam pada berbagai sekte aliran yang pasti mempunyai pemahaman dan penafsiran sendiri. Sejarah mencatat, dalam hal ini umat islam terbagi pada berbagai sekte Aliran. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi permasalahan aqidah ini sering kali mengantarkan umat islam pada perpecahan yang begitu mendalam, sehingga sering kali satu sama lain saling menyalahkan yang lainnya dan menganggap bahwa yang bukan dari golongannnya termasuk kafir. Hal ini terjadi pada aliran-aliran kalam yang ada sejak dulu, baik itu syiah, khawarij, murjiah, jabariah, qadariah, mu’tazilah, dll. Perpecahan umat islam menjadi berbagai golongan ini mulai terjadi pada saat perang shiffin yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah yang saat itu menginginkan jabatan amirul’mukminin. Sejak saat itu muncul berbagai sekte aliran yang mengkafirkan golongan satu sama lain. dan perkembangannya setiap golongan mengklaim bahwa golongannya lah yang paling benar dan sesuai dengan al-qur’an dan sunnah, terutama yang berkaitan dengan masalah keyakinan mereka. Nabi pernah mengisyaratkan bahwa di akhir zaman umat islam akan terbagi menjadi 73 golongan dan yang satu golongan akan masuk surga yaitu Ahlu sunnah Wal Jamaah. Nah, hadits tersebut sering kali dijadikan alasan untuk mengklaim kebenaran dari golongannya. Mereka seringkali mengatakan bahwa yang disebut ahlu sunnah wal jamaah disana adalah golongan mereka. Asy’ariyah mengklaim bahwa dialah Ahlu sunnah wal jamaah, begitupun murjiah, jabariah, muktazilah dll.
Tampaknya, permasalahan firqah ataupun ikhtilaf yang terjadi di kalangan umat islam dalam penggunaan ra’yu jangan kita jadikan sebagai benalu dalam proses penghambaan kita, melainkan kita jadikan sebagai khazanah ilmu yang akan memperkaya pengetahuan kita. Boleh saja kita berbeda dalam masalah ibadah(fiqh) karena Allah memberikan pemahaman yang berbeda dalam akal kita, asal saja kita bisa wise dan menghargai terhadap perbedaan yang ada. Toleransi adalah sakap yang penting dalam menghadapi perbedaan itu. Boleh saja kita berbeda dalam hal keyakinan kita, tapi jangan sampai mengantarkan kita pada faham Primordial yang berlebihan merasa golongan sendiri yang paling benar. Tapi itu kita jadikan sebagai media hikmah yang harus semakin memperkuat ukhuwah di antara kita. Satu hal yang perlu kita ingat, jangan sampai perbedaan pemahaman (ra’yu) mengantarkan kita pada sebuah firqah atau perpecahan.

Perangi kebodohan, Berantas Kemiskinan, Rebut Tantangan Zaman Oleh: Ridwan Rustandi

Hari ini, Umat Islam tak bisa menampakan keganasannya, tak bisa menampakan keislamannya, dan yang paling mengkhawatirkan Umat Islam tak tahu arah hidupnya, sungguh ironis. Islam adalah agama yang damai, agama yang sempurna dan penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya. Umat Islam begitu kaya dan beruntung mempunyai sebuah pedoman hidup yang berlaku tidak hanya untuk dirinya, tapi juga berlaku kapanpun dan dimanapun, dalam keadaan apapun dan bagi siapapun, itulah Al-qur’an dan sunnah. Bukankah Rosul pernah mengatakan bahwa jikalau kita senantiasa berpegang kepada keduanya, niscaya kita pun tak akan pernah sesat selama-lamanya. Sungguh indah ucapkan yang Rosul lontarkan kepada kita. Ini menunjukan bahwasanya konsepsi Umat Islam di dunia ini begitu kuat, begitu nyata, dan senantiasa bisa menunjukan relevansi di kehidupan nyata.
Islam adalah rahmat, rahmat untuk siapa? Rahmat yang berlaku universal untuk semua golongan. Kehadirannya akan senantiasa memberikan suatu kenyamanan, ketenteraman dan ketenangan baik secara lahiriah maupun jasmaniah. Namun, sayangnya dengan berbagai keunggulan yang dimilikinya, Umat Islam seolah hanya bisa terdiam, hanya bisa membaca tanpa dipahami dan hanya bisa menjadi penonton di tengah perkembangan zaman yang semakin mencuat ini. Apa yang salah dengan kita sebagai umat-Nya? Tak ada yang salah sebenarnya, hanya saja kita sebagai Umat Islam belum mampu menampakan dimensi kerisalahan dan kerahmatan yang dimiliki oleh Islam. Sekarang, seolah konsepsi yang ada dalam islam belum bisa kita aktualisasikan di kehidupan nyata. kita hanya menjadikan konsepsi tersebut hanya sebagai bacaan saja bahkan mungkin hanya dijadikan pajangan saja. Padahal, begitu banyak redaksi Al-qur’an yang senantiasa memerintahkan kita untuk membaca, memahami, mengahayati dan kemudian mengamalkan semua konsepsi yang tertera dalam Al-qur’an dan Sunnah. Jikalau hal tersebut kita lakukan, alhasil islam sebagai rahmat universal itu bukan hanya sekedar tataran wacana tapi akan terwujud.
Di tengah dunia yang semakin menggeliat ini, yang konon katanya adalah dunia global, zaman modern dan globalisasi, Umat Islam seolah tersudutkan (baca : tak bisa menghadapi tantangan yang ada). Apakah kita mau tersisihkan dari perkembangan zaman yang terjadi? Tentu jawabannya tidak. Kemudian apa yang harus kita lakukan? Hanya satu yang harus kita lakukan yakni realisasikan konsepsi islam sebagai rahmat yang universal.
Perangi kebodohan
Apa yang salah dengan kita (baca : Umat Islam) ? secara argumentat, Umat Islam melalui Al-qur’an ataupun Sunnah lebih dulu tahu perihal kehidupan yang ada. Namun, secara realitas dalil yang ada belum bisa di realisasikan. Kita tahu kebodohan itu adalah kebinasaan, tapi kenapa malah kebodohan terus-menerus merajalela. Kita tahu kesehatan itu indah tapi kenapa sampah masih menumpuk dimana-mana. Kita pun tahu bahwa kejahatan adalah dosa, tapi kenapa setiap tahunnya kejahatan semakin merajalela. Padahal, seperti yang telah kita ketahui bahwa kita kuat secara konsepsi tapi lemah dalam tataran praktisnya.
Problematika yang kemudian muncul di kalangan Umat Islam pertama ialah masalah kebodohan. Kebodohan seolah menjadi momok yang menakutkan bagi Umat Islam. Bagaimana mungkin islam akan menajdi rahmat universal bilamana para pelakunya masih berada dalam belennggu kebodohan. Padahal, sebagai makhluknya kita telah diberi potensi yang sempurna untuk memahami kehidupan ini. Potensi akal yang telah Allah berikan kepada kita seolah tak pernah sedikitpun kita pergunakan secara maksimal. Terlebih kita sebagai Umat Islam, kita ketahui bersama bahwasanya hal yang pertama kali Allah perintah kepada Nabi Muhammad adalah membaca (Q.S Al-Alaq : 1), membaca kehidupn ini. Setidaknya, perintah tersebut menunjukan kepada kita sebagai uamt islam untuk senantiasa menggunakan potensi akal itu dengan sebaik-baiknya. Di tambah dengan berbagai redaksi ayat Al-qur’an yang memerintahkan kita untuk berfikir. Hal inilah yang menjadi problematika dakwah bagi seorang da’i di tengah tantangan zaman yang ada. Perangi kebodohan dengan senantiasa memberikan sebuah pengajaran yang nyata. Kalau saja kita mau bersama-sama menyadari bahayanya kebodohan itu, maka kita pun akan siap memeranginya, bagaimanapun caranya. Jamahlah aspek intelektualitas untuk memerangi kebodohan.
Berantas Kemiskinan
Ada tiga aspek yang kita pahami dari islam, yakni aspek ritualitas, aspek intelektualitas, dan aspek sosial. Di pandang dari segi ritualnya, Umat Islam setidaknya telah memahami berbagai perintah atau ajaran yang harus mereka lakukan. Namun, sayangnya kita hanya berkutat pada aspek ritual saja, tanpa mau mengepakan sayap menjamah aspek intelektualitas dan sosial. Ritual-ritual keagamaan yang kita lakukan hanya sekedar ritual saja tanpa ada efek yang nyata di kehidupan kita.
Kebodohan dekat dengan kemiskinan, begitulah kata para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang ada. Dengan merebaknya kebodohan di tubuh Umat Islam, maka dengan sendirinya kita pun telah meningkatkan kemiskinan yang ada. Renungkan diri anda, Umat Islam mempunyai problem yang kompleks. Mayoritas Umat Islam dari segi tataran hidupnya berada di bawah garis kemiskinan, realitas menunjukan demikian. Mengapa bisa terjadi? Hal ini karena aspek sosial yang ada di tubuh islam cenderung kurang terjamah oleh siapapun. Sisitem kapitalis yang di usung dunia barat mempunyai dampak yang berarti bagi kita. Realitas menunjukan bahwa tidak ada kepedulian dari kaum agnia terhadap kaum dhu’afa. Mereka sibuk mengatur urusan mereka sendiri tanpa mau memperhatikan kebutuhan orang di sekitarnya. Walhasil, kemiskinan semakin kompleks terjadi di kalangan Umat Islam. Inilah problematika dakwah kedua kita hari ini. Kita jangan saja memandang islam dari ritualnya saja, tapi jamahlah aspek intelektual dan terlebih aspek sosialnya. Jika kita mampu demikian, maka setidaknya kemiskinan yang ada bisa berkurang secara bertahap dan terus-menerus.
Rebut Tantangan zaman
Identitas Umat Islam saat ini telah hilang. Di tengah modernisasi ke arah zaman yang global, Umat Islam tidak bisa mempertahankan identitas yang telah ada sejak dulu. Saat ini, seolah uamt islam terbuai dengan kenikmatan dunia yang fana. Bagaimana tidak, gaya hidup yang salah telah nyata di kalangan kita. Di tambah, secara intelektual kita belum mampu menghadapi perkembangan zaman yang ada, karena keterbatasan yang kita miliki secara ilmu dan secara amal. Hal yang harus kita lakukan sekarang ialah merebut tantangan zaman yang tengah berkembang saat ini. Ketertutupan yang msih melekat dalam diri kita seolah menjadi sebuah benalu yang menghalangi kita. Padahal konteks rahmatan lil alamin yang harus kita pahami juga ialah bahwa akan senantisa sejalan dengan perkembangan yang ada. Sebagaimana nasihat Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan bahwa :”siapa yang merasa aman menghadapi zaman, zaman akan menipunya. Siapa yang tinggi hatinya menghadapi zaman, zaman akan menipunya. Dan siapa yang bersandar pada tanda-tanda zaman, maka ia akan menyelamatkannya”. Ini berarti kita harus mampu menghadapi bahkan merebut kondisi zaman yang ada, sehingga akhirnya kita pun akan mampu mewujudkan islam sebagai rahmat yang universal.

Islam dan Pembebasan (autokritik terhadap kondisi Umat) Bagikan 26 Mei 2010 jam 18:38


Islam, begitulah kita mengenalnya. Islam adalah agama yang tidak hanya ditujukan untuk satu golongan saja, untuk satu umat saja, tapi Islam adalah agama universe yang berlaku sepanjang kehidupan ini ada. Tak ada yang menyangsikan hal itu, semua umat-Nya (baca : Umat Islam) yakin bahwa sampai kapanpun Islam akan menjadi rahmat, risalah dan keberuntungan di sepanjang zaman. Namun, apa yang terjadi? Realitas tidak mencerminkan hal seperti itu. yang seharusnya, Islam bisa menjadi jawaban atas kegelisahan manusia di zamannya ternyata belum mampu menunjukan keunggulannya itu dan belum mampu menyentuh berbagai kalangan yang ada, baik yang menjadi pengikutnya, terlebih bagi mereka yang belum yakin dan masih menunggu. Pasca terjadinya renaisance, seolah Umat Islam saat ini kehilangan. Kehilangan keberaniannya, kehilangan konsistensinya, dan kehilangan kepercayaan universalitasnya terhadap Islam sendiri. Saya kira, hal seperti itu menjadi indikator betapa kita, sebagai Umat Islam, belum mampu mengaplikasikan konsepsi keIslaman dalam tataran praktis. Ditambah lagi ke-parsial-an pemahaman kita terhadap Islam sendiri. Mayoritas, dari kita hanya memandang Islam dari satu esensi saja, dari satu aspek saja, tanpa mau mencoba menggali dan mengembangkan lebih dalam lagi konsepsi keIslaman yang terkenal begitu kuat. Konsepsi keIslaman yang tertera dalam kitab kita, kitab yang menjadi pegangan utama alur kehidupan kita yakni Al-qur’an dan As-sunnah, belum mampu terejawantahkan secara menyeluruh di kehidupan kita. Walhasil, inilah Islam sekarang. Walaupun secara teoritis dan konsepsi kuat, namun secara praksis belum mampu diwujudkan. Ini merupakan sebuah manifesto dari pemahaman Umat Islam terhadap Islam yang parsialistik.
Saat ini, lagi-lagi kita hanya bisa terbuai dengan segala perkembangan zaman yang ada. Strategi pendangkalan pemahaman kita terhadap Islam yang diterapkan oleh kaum yahudi dan Nahrani telah berhasil diwujudkan. Sampai kapanpun mereka tak akan rela melihat Islam mampu mewujudkan suatu kondisi relasional tauhid yang terwujud melalui ukhuwah atau kebersamaan yang nyata. persatuan yang kemudian tercipta di kalangan Umat Islam menjadi semacam ancaman bagi keberlangsungan propaganda mereka terhadap Umat Islam. Karenanya, untuk mencegah persatuan seperti itu, mereka senantiasa melakukan semacam gerakan perubahan untuk pendangkalan aqidah dan pemahaman Umat Islam terhadap Islam sendiri. Dan sekarang, kita bisa melihat dengan mata kita sendiri bahkan mungkin kita bisa merasakannya, betapa berhasilnya gencaran dakwah yahudi dan nashrani yang dilakukan. Pertanyaannya sekarang, sampai kapan kita terbuai dengan propaganda mereka (baca: Yahudi dan Nashrani)? Adakah keinginan dalam diri kita untuk mengadakan semacam revolusi pemahaman kita terhadap Islam, sehingga kita bisa memahami Islam secara universal? Siapakah yang kelak akan membawa Islam ke arah perubahan tersebut? Tentu, pertanyaan semacam itu pernah bersarang dalam diri kita. Permasalahannya adalah ghiroh harakat yang kita miliki hanya sebatas wacana saja, belum mampu mencapai aplikasi yang nyata dari semua harapan yang kita inginkan.
Tampaknya, melihat hal seperti ini. Rekonstruksi pemahaman guna pembaharuan harus senantiasa kita lakukan. Jangan sampai kita kehilangan arah kehidupan yang sudah secara nyata mempunyai pegangan yang kuat secara konsepsional.
Pembebasan Umat
Gencaran imperialisme, kolonialisme dan sekularisme yang dilakukan barat terhadap kita menjadi sebuah pijakan awal dari semua pembaharuan yang kita lakukan. Pembaharuan tersebut menjadi semacam titik awal dari sebuah rekonstruksi pemikiran. Umat Islam yang kehilangan keberaniannya pasca kebangkitan eropa, menyebabkan umat-nya hanya terpaku pada teks saja, dengan mengenyampingkan konteks yang ada, berarti mendukung parsialitas pemahaman kita. Alhasil, ketergantungan kita terhadap teks dan menghilangkan konteks rasionalitasnya, menyebabkan kita hanya berkutat pada aspek ritual semata. Sehingga, intelektualitas yang seyogiannya harus digalakan, sebagaimana digalakannya tradisi keilmuan Umat Islam dahulu, kini telah ditinggalkan. Akibatnya, prosesi kritik terhadap pemahaman yang ada terhenti dan menyebabkan sebuah kemandekan intelektual yang lazim kita kenal dengan istilah intellectual stagnation. Kemandekan intelektual seperti itu, menyebabkan kejumudan kita dalam berfikir dan hasilnya adalah Islam yang kita yakini tidak utuh baik secara konsepsi, konteks, dan ajaran. Kejumudan seperti itu mengantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa ijtihad yang dilakukan oleh ulama terdahulu adalah yang paling benar dan relevan. Sehingga, kita tidak pernah mau mengkritisi ijtihad yang ada. Dalam arti kita hanya menjadi seorang muqallid (pengikut) yang serta merta hanya menjadi pengikut yang menerima apa adanya. Tanpa tahu secara teks dan konteks argumentasi dan landasan yang ada di balik ijtihad tersebut. Dan pada akhirnya, dengan kemandekan seperti itu, memunculkan rasa paling benar terhadap ijtihad yang dilakukan. Dan dampak yang terjadi ialah perpecahan di kalangan Umat Islam sendiri. Karena ketika kita dihadapkan pada sebuah perbedaan pendapat dalam ijtihad, kita cenderung tidak bisa menerima perbedaan yang ada. mengklaim bahwa kitalah yang paling benar.
Begitupun dari segi sosial. saat ini, begitu banyak Umat Islam yang hidup di bawah tekanan kehidupan yang mengancam. Secara politis, imperialisme modern yang dilakukan barat terhadap Islam begitu kuat terasa. Islam seolah bisa digerakan kapanpun barat mau. Hal ini terjadi karena Umat Islam tidak mampu menampakan jati dirinya sebagai Islam. Kemunduran Umat Islam secara politis menjadi semacam bomerang bagi Islam sendiri. Dimana, masih kita temui tradisi kanibalisme di kalangan Umat Islam dalam hal politik. Mungkin, hal semacam ini sudah menjadi tradisi di kalangan Umat Islam sendiri. Dimana kekuasaan menjadi semacam alat untuk menguasai kehidupan orang lain. alhasil, ada semacam pemilahan secara sosial antara yang menguasai dan yang dikuasai. Dan pada akhirnya akan muncul golongan yang kuat dan yang lemah. Kemudian, secara ekonomis, Umat Islam jauh di bawah kehidupan yang layak. Aspek sosial yang kebanyakan terlupakan, menjadi faktor utama mengapa banyak Umat Islam yang hidup tidak semestinya. Kalau saja, Umat Islam memprioritaskan kehidupan sosial dibanding dengan ritual saja, maka Islam akan mampu terasa secara universal. Padahal, seharusnya ritualitas yang kita lakukan mempunyai relasi atau keterhubungan dengan aspek sosial kehidupan kita. Munculnya, kaum dhua’fa dan mustadhafin menjadi isyarat belum mampunya Islam menapakan jati dirinya dalam aspek sosial. pemikiran kita hanya berkutat pada ritual semata dan cenderung melupakan intelektual dan sosial. lantas, apa yang harus kita lakukan? Jawabannya ialah kita harus membebaskan diri kita dari belenggu parsialitas pemahaman. Sehingga, prosesi ke arah universalitas bisa kita lakukan.
Islam dan Humanisme
Islam adalah agama pembebas, semua manusia mempunyai hak untuk hidup secara layak. Humanisme dalam Islam senantiasa sejalan dengan perkembangan zaman yang ada. bahkan Islam lebih dari ajaran manapun tentang konsep kemanusiaan. Islam sangat menghargai perikemanusiaan. Islam muncul secara faktual, dimana ketika derajat manusia dipandang begitu rendah. Karenanya, sudah menjadi suatu kewajiban bagi kita sebagai umatnya untuk senantiasa mendahulukan kepentingan sosial di atas kepentingan apapun, sebab hal itu akan memudahkan kita ikut serta meningkatkan martabat manusia di hadapan apapun. Dulu, ketika Marx mempunyai gagasan untuk membebaskan kaum proletarian dari belenggu kelas sosial penjajah, ternyata Islam sudah lebih dulu menerapkan konsep semacam itu. kemudian, ketika barat sekarang menerapkan human right bagi seluruh umat manusia, dan ternyata Islam sudah lebih dulu mengangkat derajat kemanusian. Dari hal ini kita bisa menilai begitu Islam sangat menghargai kemanusiaan. Nilai-nilai humanis dalam Islam mudah sekali kita temukan. Namun, permasalahnnya, lagi-lagi Umat Islam belum mampu menunjukan hal semacam itu.
Hal seperti ini, menjadi sebuah autokritik terhadap Umat Islam sendiri. Islam yang seharusnya menjadi rahmat alam, ternyata hanya sebatas wacana saja dan belum mampu terealisasikan. Islam yang seharusnya menjadi pembebas, ternyata belum mampu membebaskan umatnya dari belenggu kejumudan parsialitas. Hal ini dikarenakan Umat Islam sendiri masih parsial dalm memahami Islam. Harusnya kita malu sebagai Umat Islam dengan keadaan seperti ini. Konsepsi yang kuat tak ada gunanya manakal tidak ada dukungan atau upaya dari para penganut ajarannya untuk merealisasikan konsepsi itu. dan hal pertama yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita bisa membebaskan diri kita dari pemahaman parsial terhadap Islam. Dan jikalau itu bisa kita lakukan, maka Islam bisa terwujud sebagai rahmat yang universal.

Pro-kontra Video mesum Luna – Ariel Dalam Perspektif Komunikasi

Hai sobat,, dulur-dulur sadayana. Please baca lagi catatan yang saya tag di media jejaring facebook kali ini. Ini bukan lanjutan dari diskursus psikografi agama selanjutnya, melainkan ini hanyalah sebuah analisis media dari kisruh pemberitaan yang hangat akhir-akhir ini. Apa lagi kalau bukan video mesum Luna-Ariel-Cut Tari. Saya terinspirasi untuk melakukan analisis media ini bukan karena sudah mampu mengkritisi pemberitaan media, tapi saya mencoba mengaplikasikan pengetahuan yang saya baca mengenai Analisis Wacana dalam buku Eriyanto. So, baca dan kritisi kesalahan saya ok.. untuk peningkatan prestasi donks!!!

Sudah dua minggu terakhir ini, bnagsa Indonesia menyaksikan sandiwara cinta yang terjadi antara Luna Maya dengan Ariel sang pentolan grup Band Peter Pan yang konon menurut kabarnya kini telah berganti nama. Sandiwara ini saya katakan sebagai bagian dari komunikasi public mereka sebagai entertainer. Mengapa saya katakan komunikasi public…? Sebab dengan kejadian ini setidaknya akan semakin meningkatkan, mempengaruhi, meyakinkan, memberi informasi atau bahkan menjadi penghibur dari popularitas yang selama ini telah mereka genggam, walaupun mungkin dengan cara yang tidak manusiawi. Wallahu a’lam. Yang jelas, sebelum semuanya terbukti kita gunakan asas hukum praduga tak bersalah…. Sepakat?

Namun, dalam kesempatan kali ini, saya mencoba mengkritisi hingar bingar merebaknya video mesum mereka dalam perspektif komunikasi. Terlepas dari apakah saya setuju dengan video tersebut ataukah tidak… ya kita lihat diskursus di bawah ini..

Dalam buku analisis media, karangan Eriyanto, dapat saya katakan bahwa apa saja yang terjadi pada ketiga artis papan atas tersebut yang semula dimaksudkan untuk memberitakan aib mereka, ternyata malah sebaliknya. Apa yang mereka lakukan justeru akan semakin meningkatkan popularitas mereka dalam dunia entertainment. Analisis yang saya gunakan kalia ini ialah dengan meminjam teori Discourses analysis dari Antonio Gramsci. Dalam teori tersebut di katakan bahwasanya ketika sebuah media memberitakan seorang subjek dengan latar belakang peristiwa yang terjadi pada subjek tersebut, dan lantas apa-apa yang media beritakan semakin gencar dilakukan, maka subjek yang semula diabaikan akan menimbulkjan efek penasaran bagi para komunikan yang menerima pesan dari media tersebut. Alhasil, popularitas dari subjek yang diberitakan akan semakin mencuat jauh ke permukaan. Begitu juga, ketika media memberitakan dengan bahasa yang berbeda yang lebih manusiawi dari pada yang semestinya dilakukan dengan bersandar pada fakta yang terjadi. Maka, Sesuatu yang seharusnya dianggap hina dina oleh komunikan, karena dikemas dengan bahasa yang lebih halus, maka hasilnya, sesuatu yang seharusnya hina itu malah menjadi suatu keprihatinan. Alhasil, si pelaku yang seharusnya menjadi sorotan utama malah dijadikan sebagai korban. Layakkah?

Begitulah secara sederhana teori discourses analysis menurut Gramsci. Dalam teori ini pun kiranya Gramsci menunjukkan kepada kita bagaimana peran media dalam memberitakan suatu peristiwa atau fakta. Gramsci memasukan berbagai pelengkap untuk melakukan analysis terhadap pemberitaan yang terjadi. Semisal, ia menggunakan pendekatakan studi kebahasaan yang lazim di kenal dengan Linguistic analysis, dimana dengan balutan bahasa yang halus, suatu pemberitaan yang semula bermakna kasar dan hina menjadi tereduksi dengan balutan kata-kata yang indah. Kemudian, Gramsci juga tak lupa menggunakan pendekatan kontrukivisme yang mana ia mencoba menganalisis peran media dalam membangun image seseorang. Apa kepentingan media di balik pemberitaan yang ada. begitulah!!

Media mencoba membangun sebuah ideologi atau bahkan menyebarkan ideologinya kepada para komunikan yang menjadi sasaran pemberitaan media itu sendiri. Artinya, dengan menggunakan teori Gramsci ini, kita bisa mengatakan bahwasanya sebuah media ketika melakukan suatu pemberitaan tidak pernah terlepas dari suatu kepentingan semata. Apa kepentingan media memberitakan video mesum Luna dan Ariel ? dari sinilah perlu kiranya kita mengkritisi upaya manipulasi suatu media terhadap pemberitaan yang ada atau mungkin upaya mereduksi makna dari media terhadap fakta yang berlaku.

Kini, saya mencoba mengkorelasikan kisruh video mesum Luna –Ariel – Cut Tari dengan pendekatan teori wacana Gramsci. Saya merasa heran ketika suatu media di salah satu stasiun televisi yang memberitakan kisruh video tersebut dengan cara membandingkan Perilaku Ariel dengan berbagai tokoh dunia barat yang melakukan hal serupa. Semisal, Tiger woods pegolf dunia nomor wahid yang juga mempunyai kasus serupa, kemudian mantan Presiden Amerika yang pernah tertangkap basah berselingkuh dengan sekretarisnya. Dan banyak lagi. Analisis saya seperti ini, ketika media mengatakan bahwa, kasus serupa terjadi juga pada tokoh papan atas dunia dan akhirnya mereka mau berbesar hati dengan mengakui segala kesalahan, dan mengakhiri pemberitaan dengan ucapan”mengapa Ariel tidak demikian?” ini menjadi semacam signal dalam melegalkan perzinaan atau hubungan pra nikah. Artinya, siapa pun boleh melakukan hubungan pra nikah asal ia berani mengakui jika pada akhirnya perbuatan yang ia lakukan diketahui oleh orang lain dan menjadi konsumsi publik. Bayangkan! Selain itu, perbandingan yang media lakukan dengan tokoh papan atas dunia yang kebanyakan berasal dari dunia barat, menjadi kurang tepat. Sebab kultur hubungan seks di luar nikah di dunia barat sendiri sudah menjadi perbuatan yang lumrah dilakukan. Beda halnya di dunia timur yang belum bisa melegalkan hubungan seperti itu secara terang-terangan. Artinya, terlepas dari apakah perbuatan Ariel dkk, menyalahi budaya timur atau, tapi hampir sebagian besar orang Indonesia melegalkan perbuatan tersebut. Buktinya dalam jangka waktu yang relatif singkat sekitar satu minggu, video tersebut telah tersebar dan terbukti banyak sekali yang meng-unggah. Di sini, peran media juga mendukung penyebaran video tersebut. Ketika semakin gencarnya pemberitaan video mesum tersebut hampir di seluruh stasiun televisi dan berbagai media cetak, mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap perkembangan penyebaran video tersebut. Maksudnya gini, ketika media banyak memberitakan otomatis hal semacam itu menimbulkan efek penasaran bagi para komunikan yang menyaksikan atau menerima message dari komunikator atau si penyampai pesan. Alhasil, mereka pun semakin berani mengunggah video tersebut dari berbagai media. Terlebih dari media internet yang otomatis mempunyai cakupan tanpa batas. Terlepas dari motif yang mereka gunakan dalam mengunggah video tersebut. Apakah hanya untuk edukasi, untuk memuaskan kepenasarannya, untuk alat analisis media, atau mungkin memang sudah terbiasa? Wallahu a’lam. Begitu juga dengan saya, mempunyai motif tersendiri.... hehehe.

Lantas, sekarang apa yang harus kita lakukan?

Pertama, konfirmasi dan selidiki secara empirik dan rasional terhadap pemberitaan yang ada. supaya tidak terjadi kesimpangsiuran ataupun penyimpangan media terhadap pemberitaan yang terjadi. Kedua, perlu kiranya kita melakukan analisis kritis jangan sampai kita beranggapan salah terhadap pemberitaan yang berlaku tanpa ada bukti yang real. Artinya, sejalan dengan asas penetapan hukum di Indonesia, perlulah kita menggunakan asas praduga tak bersalah. Ketiga, peran media juga harus optimal dalam menyampaikan pesan yang seharusnya disampaikan. Jangan ada upaya reduksi makna baik dari wacana kebahasaan (semiologi dan semantik), dari ideologi komunikator (teori subjek-objek), ataupun dari upaya kontruks opini yang berlaku. Keempat, usahakan anda bisa mnegnadlikan nafsu liar anda bagi anda yang tak tahan dengan video semacam ini, ingat secara psikologis video tersebut akan mempengaruhi pada kondisi intrapersonal anda. Saya takut anda tertekan setelah menyaksikannya. Perbanyaklah istighfar dan berpuasa sebagai rekomendasi dari Rosul bagi para pemuda lajang dan pengangguran yang tak tahan. Atau tips terakhir saya sarankan anda nikah saja, kan lebih halal. Dan terakhir, jangan mempercayai pemberitaan media sebelum kita mampu menganalisis pesan yang ada melalui perenungan optimal diri kita...

Renungkan, hehehe...Wassalam....

PSIKOGRAFI AGAMA (mencoba memahami agama dalam perspektif Komunikasi) episode 1


ada sebuah kisah menarik tentang pemahaman seseorang seputar agama. terlepas dari apakah agama yang ia yakini itu islam, kristen, hindu, budha, atau bahkan ia yang mengaku tanpa agama. namun, perlu digarisbawahi bahwa kalaupun kita mengaku bertuhan tanpa agama ataupun sebaliknya, pada hakikatnya kita tak akan pernah bisa memisahkan dan berpaling dari keduanya. setiap manusia yakin dengan fitrah ketuhannya, maka dari itu simaklah sedikit refleksi saya perihal agama yang saya maktubkan melalui kisah sederhana di bawah ini:

alkisah, ada seorang dokter. di negerinya dokter tersebut terkenal dengan keahliannya menyembuhkan berbagai penyakit pasiennya waktu itu. namun, dibalik keahliannya itu, ia sering kali mengatakan bahwa dirinya hanya sekedar penghantar keagungan Tuhan dalam menyembuhkan pasiennya itu. mungkin secara psikologis dan sosial, doketer itu mencoba menjadi seorang sosok rendah hati dan tak mau membanggakan diri karena ia tahu bahwa dirinya tak mempunyai daya dan kekuatan apapun dalam menyambuhkan pasiennya. ia hanyalah seorang manusia biasa yang penuh dengan kesalahan. maka dari itu, ia pun tak punya sekecil hati untuk bisa membanggakan dirinya. dan itu ia sadari sebagai insan yang penuh dengan kealpaan, terlebih dirinya sebagai manusia yang bertuhan dan patuh terhadap ajaran agamanya.

suatu hari, ia kedatangan seorang pasien yang mengidap sakit gigi. mulutnya membengkak karena sakit gigi yang ia derita begitu FARAH. hal ini terjadi dikarenakan orang tersebut enggan memriksakan penyakit giginya itu kepada seorang ahli kesehatan, dalam hal ini dokter. si pasien ini berfikiran bahwa tanpa seorang dokterpun ia mampu menyembuhkan dirinya dari sakit gigi yang telah lama ia rasakan. terlebih, karena dirinya yakin bahwa sebagai insan yang beragama seklaigus bertuhan, tentu tuhan akan membantunya dalam menyelesaikan permaslahannya itu. awalnya, prinsip seperti itu (baca : prinsip si pasien yang terlihat layaknya fatalistik) ia pegang begitu kuat, tak gentar sedikitpun ia berpaling dari prinsipnya itu. bahkan, tercatat, sepanjang hidupnya itu dan selama ia mengidap penyakitnya itu, indera pengecapnya belum pernah sedikitpun mengecap rasa manis atau paj\hit dari sebuah obat. hingga suatu hari, ia tak tahan lagi dengan sakit gigi yang ia derita. dan akhirnya ia pun mau menemui dokter untuk sekedar meredakan ras nyerinya itu.

kemudian, di sebuah ruang praktek dokter tersebut, terjadilah sebuah speak up singkat antara dokter dengan si pasien itu. apa yang anda rasakan? tanya si dokter. saya meraskan rasa nyeri dalam diri saya, ujar si pasien. ras nyeri di sebelah mana? tanya dokter kembali. rasa nyeri di bagian mulut. jawab si pasien ketus karena ia tak tahan lagi dengan penyakitnya itu. lantas, dalam hati si pasien itu berkata, mengapa dokter ini bertanya terus mengenai penyakitnya? kalau emang ia ahli harusnya ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan tanpa harus bertanya lagi.

lantas, si dokter menjelaskan bahwa: ketika kita meraskan sakit, maka kewajiban kita adalah berdo'a dan berikhtiar. Tuhan memang akan menolong kita, tapi bagaimana caranya kita menjemput pertolongan Tuhan yang ada di depan kita. apakah kita hanya harus diam saja. tentu tidak. begitupun ketika kita memahami agama? agma hadir bukan hanya untuk di terima dengan apa adanya secara konsepsional, tapi agama hadir untuk di yakini, di mkritisi dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata. kalau hanya memahami agama dari satu aspek saja, maka yang terjadi ialah parsialitas dalam memahami agama.

mendengar penuturan si dokter, pasien itu sadar bahwa ia memang harus mencari kebenran tentang agama yang ia yakini selama ini dari aspek konsepsinya semata. ia tidak pernah mencoba memahami agama secara faktual dengan melirik sedikit kondisi sosial di lingkungannya. ia secara sadar meyakini bahwa ia beragma hanya untuk dirinya bukan untuk sosial. terlepas dari itu, si pasien yang awalnya tak pernah mau meminum obat, akhirnya ia pun mau meminum obat yang diberikan oleh dokter itu. setelah selesai si pasien itu meminum obat itu, lantas si doketer bertanya, bagaiaman rasanya pak? jawab si pasien pahit dok. nah, begitulah rasa agama yang selama ini anda yakini.

bersambung....