SEARCHING THIS BLOGGER

Selasa, 29 Juni 2010

Harmonisasi teks, Author dan Reader Oleh : Ridwan Rustandi

Orang yang bijak adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu....
-socrates, si dukun gagasan-
Jalaluddin Rakhmat saat mengawali tulisannya tentang problematika dan refleksi kontemporer umat islam dewasa ini yang termaktub dalam bukunya Islam Aktual, dengan sebuah pertanyaan: Adakah evolusi aktualisasi nilai-nilai islam oleh umatnya yang dapat di data dan diproyeksikan ke masa depan?
Saat ini, umat islam telah kehilangan taringnya. Kehilangan kepribadiannya, dan kehilangan pemahaman yang kaafah terhadap islam. Umat islam lebih cenderung mengutamakan doktrinalisasi pemahaman mereka terhadap umat islam lainnya yang mungkin berbeda pemahaman dengannya. Penulis menyadari bahwa saat ini umat islam cenderung bersikap apati terhadap pemahaman yang datang dari luar, yang mungkin bukan berasal dari pribadinya, golongannya atau organisasi keagamaan yang diikutinya. Alhasil, dengan sikap antipatinya itu tak ayal menjadikan dirinya bersikap tertutup terhadap pemahaman lain mengenai islam. Dan yang lebih dikhawatirkannya lagi ialah adanya sikap skeptis dari umat islam mengenai islam itu sendiri, karena mungkin islam yang ia pahami tidak sesuai dengan islam yang telah dipahami oleh orang lain.
Kenyataan, islam secara konsepsi mempunyai landasan yang tsiqah, landasan yang tak mungkin disangsikan lagi secara yuridis oleh umat islam. Namun, apa yang menyebabkan umatnya bersikap antipati? Jawabnya ialah mereka (umat islam) cenderung belum mampu mengaktualisasikan konsep islam yang tertera dalam Al-qur’an maupun Sunnah, dalam kehidupan nyata. ketertutupan yang mereka pertahankan pada akhirnya akan mendatangkan suatu ikhtilaf yang berkepanjangan. Ikhtilaf yang bisa menjadikan firqah di kalangan umat islam sendiri. Sehingga, hal ini menjadi “PR” bagi kita semua agar bisa membuktikan Islam sebagai rahmat yang universal.
Antara teks, Author, dan Reader
Dalam buku Islamic studies karya M. Amin Abdullah hal ihwal mengenai Pendekatan Hermeunetik Dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan, kajian tentang proses Negosiasi Komunitas pencari Makna Teks, Pengarang dan Pembaca, penulis , memperoleh suatu ikhtisar bahwasanya umat islam sekarang cenderung bersikap despotism(yaitu sikap sewenang-wenang dalam menafsirkan teks). Umat islam yang penulis maksud ialah mereka yang senantiasa bergelut dalam pergumulan pemikiran untuk menetapkan hukum islam. Mereka (baik pribadi, tokoh masyarakat, golongan, organisasi) yang merasa mempunyai hak untuk melakukan ijtihad dalam menetukan hukum islam, khususnya dewasa ini cenderung mengatasnamakan otoritas pengarang (author), dalam hal ini otoritas Tuhan untuk mengatakan bahwa apa yang kemudian mereka tetapkan adalah hasil kesesuaian antara dirinya (pembaca) dengan teks yang ia tafsirkan. Sikap despotism yang ia tonjolkan tak ayal menyebabkan dirinya bersikap tertutup terhadap penafsiran yang datang bukan dari dirinya. Alhasil, si pembaca ini yang merasa dirinya paling tahu tentang makna teks dan keinginan pengarang senantiasa mempertahankan ketertutupan yang sekarat, Toffler. Maksudnya, jika ada penafsiran yang berbeda dengan dirinya (si pembaca), mereka cenderung menolak dan merasa interpretasi yang ia kemukakan palimh relevan dengan kondisi yang ada, paling sesuai dengan apa yang diinginkan oelh pengarang, dalam hal ini otoritas pembuat Teks yaitu Tuhan.
Adanya sikap memaksa kepada para pengikut teks atau yang kita kenal sebagai penerima fatwa (community of interpreters), menjadi bukti ketertutupan para pembaca yang kita kenal dengan si penetap hukum. Padahal, kalau saja kita paham dengan konsep “la ikroha fiddin” dalm Islam, maka seyogiannya mereka tidak akan pernah memaksakan interpretasi yang mereka pahami kepada umat islam yang bertyindak sebagai penerima fatwa. Dalam buku ini pun dijelaskan bahwa reader yang mengatasnamakan kewenangan Author dalam memahami teks dan cenderung antipatis terhadap interpretasi yang lain pada akhirnya akan mencapai tatran intelllectual stagnation atau kebuntuan intelektual dalam memahami teks. Alhasil, sikap picik, parokial mind, kurang bijaksana akan mencuat dalam dirinya karena ia merasa paling benar dan paling tahu mengenai teks yang ada.
Ketertutupan VS keterbukaan Makna
     
“dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui.”
Jangan merasa diri paling benar, itulah kata yang penulis bisa tangkap dalam uraian singkat buku M.Amin Abdullah perihal problematika di atas. Tampaknya, M. Amin Abdullah mengkritisi permasalahan yang mencuat di kalangan umat islam sekarang. Dan hal ini pun sesuai dengan refleksi Jalaluddin Rakhmat melihat keadaan umat Islam sekarang. Keduanya, melihat realitas bahwa ketertutupan umat islam sekarang tengah mencapai titik kulminasi yag sensitif. Maksudnya, memandang keadaan tertutup umat islam yang saling mengecam bahwa ia adalah yang paling bid’ah, ia yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan (divine intructions), bahkan pada akhirnya saling mengkafirkan yang timbul dewasa ini. Adanya unsur memaksa dalam pemahaman, bahwa ia yang berbeda harus sama dengan pemahaman kita menunjukan ketertutupan umat islam. Kalau demikian adanya, sikap memaksa itu menyebabkan terbelenggunya potensi akal yang Allah berikan kepada manusia untuk memahami islam melalui teks dan konteks yang ada.
Ayat di atas, penulis kira sesuai dengan konteks yang ada sekarang. Ketika merasa diri paling benar, paling pandai dan paling segalanya dibanding yang lain akan memunculkan sikap antipati, parokial, dan intellectual stuck. Dan ini sesuai dengan pernyataan seorang Socrates yang menyatakan bahwa seorang yang bijaksana adalah mereka yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Jika konsep seperti itu ada dalam diri umat islam yang akan terwujud ialah keterbukaan makna dalam memahami teks. Potensi Tuhan berikan tidak akan sia-sia kita dapatkan.
Harmonisasi Teks, Author, dan Reader
Mengapa penulis memberi judul seperti di atas dalam artikel ini? Jawabnya ialah karena dalam menafsirkan sesuatu senantiasa adanya kesesuaian antara teks yang ditafsirkan, Pengarang teks (Author) dan Pembaca Teks ( Reader). Ketika teks ditulis oleh Pengarang ( Author) dalam hal ini Tuhan, senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman yang ada sehingga memungkinkan pembaca mempunyai penafsiran yang berbeda satu sama lain mengenai teks tersebut, terlepas dari penafsiran tersebut terpengaruhi oleh keadaan dan lingkungan sosial.
Munculnya keharmonisan antara ketiga elemen di atas akan semakin mempermudah kita dalam memahami konsepsi islam sebagai rahmat yang universal. Islam tidak bersifat parsial dan islam bukan pula milik satu golongan saja. Tapi islam adalah aturan yang universal, berlaku bagi siapa saja yang yakin dengannya dan pasti berlaku sepanjang kehidupan ini. Kesesuaian yang kemudian tercipta tidak akan pernah mengantarkan kita untuk terjebak pada pamahaman parokial dan authorianisme, yakni sikap yang menonjolkan despotism dalam meng-interpretasi.
Baik, M. Amin Abdullah maupun pembaharu-pembaharu yang lainnya meyakini bahwa islam adalah rahmat dan rahmat itu akan terwujud manakala muncul cahaya kebenaran dari tindakan para pelakunya, sehinggga konseptual dalam islam bisa teraktualisasikan dalam setiap sendi kehidupan dan kondisi zaman yang ada.
Semoga, kita adalah ia yang selalu menggunakan potensi yang Tuhan berikan untuk memahami islam secara utuh dan senantiasa bersikap terbuka terhadap apapun tentang islam dan pada akhirnya dengan sikap seperti itu kita akan mampu mewujudkan islam yang rahmatan lil alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar