SEARCHING THIS BLOGGER

Sabtu, 30 Oktober 2010

(Refleksi peringatan Halloween 31 oktober 2010) HALLOWEEN : Sebuah Tradisi di tengah Pesatnya Arus zaman

Memaknai tradisi Halloween, yang biasa diperingati masyarakat barat setiap tanggal 31 Oktober malam merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi kita sebagai umat muslim. Aneh memang, menurut kabarnya tradisi Halloween ini banyak diperingati oleh umat kristiani di dunia, khususnya di negara-negara barat yang memgang kuat prinsip modernisme. Saya memandang ada sebuah keganjilan tersendiri tatkala saya melihat antusias yang dilakukan oleh kebanyakan orang, untuk memperingati Halloween ini dengan beragam cara dan versi masing-masing. Terlebih, ketika tradisi tersebut dirayakan oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam. Seolah life style barat yang kita namakan westernisme menjadi sesuatu hal yang harus kita ikuti, dan itu wajib (bagi sebagian orang).

Halloween awalnya, hanya sebuah tradisi klasik masyarakat barat yang mengatasnamakan agamanya (kristen) sebagai bentuk legitimate terhadap apa yang kemudian mereka selenggarakan. Kenyataannya, tradisi ini hanyalah sebuah upacara yang mengada-ngada, dan bagi sebagian besar umat kistiani, Halloween dipandang sebagai ajaran sesat yang menyimpang dari pedoman Yesus sebagai juru selamat Penganut Kristen. Sama halnya dengan tradisi Valentine day yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari.

Di sini, saya mencoba mengungkapkan sebuah kejanggalan saya sebagai manusia timur yang melihat adanya kontradiksi atas apa yang dilakukan masyarakat barat - yang konon dikatakan sebagai masyarakat yang menganut gaya hidup modern- dalam menyikapi tradisi Halloween itu. kalaulah saya meminjam pendapat Soerjono Soekanto, seorang Sosiolog, ia megatakan bahwa salah satu ciri masyarakat modern ialah hampir sebagian besar masyarakatnya tidak mempercayai tahayul. Kalau saya kaitkan, realitas menunjukkan sekaliber masyarakat barat yang menjadi anutan dunia ketiga, dan lazim dikaitkan sebagai kiblat perkembangan dunia, ternyata masih memgang kuat kepercayaan mereka terhadap dunia mistik (tahayul). Sekali lagi ini adalah sebuah kontradiktif. Walaupun, nilai positifnya ialah bahwa di tengah arus perkembangan zaman yang semakin membludak, antusias masyarakat barat terhadap tradisi nenek moyang begitu kental.

Terlepas dari semua itu, bagi saya tradisi Halloween adalah sebuah tradisi yang konyol untuk masyarakat yang mengusung kemodern, tapi bisa dikatakan pula sebagai wujud kepedulian terhadap warisan leluhur. Sama halnya, ketika masyarakat Indonesia yang senantiasa melaksanakan tradisi-taradisi tertentu di kala musim panen tiba. Konyol tapi punya nilai positif. Namun, yang harus jadi titik tekan adalah bagaimana keberlangsungan sebuah tradisi jangan sampai dilegalkan atas nama agama yang notabene agama tersebut tidak pernah mencontohkan penganutnya untuk melakukan hal tersebut. Dan buktinya, hampir sebagian besar sebuah tradisi dewasa ini keluar dari jalur yang seharusnya dan dilegalkan atas nama agama. Kita, sebagai masyarakat pengikut barat, hanya menerima sesuatu secara Taken for granted tanpa ada proses kritis secara seksama.

Sejarah Halloween
Dari beberapa referensi, saya menemukan sebuah ketidaksesuaian antara tradisi Halloween sekarang, dengan tujuan awal tradisi tersebut.

Penting diketahui, bahwa tradisi Halloween awalnya di bawa oleh imigran di Amerika Serikat yang berasal dari negara Irlandia. Di Irlandia sendiri, tradisi Halloween merupakan tradisi bangsa Celtiks yang pertama kali dibawa oleh seorang pendeta dari sekte Celt pada kurun waktu 1840an. Dari keterangan yang lain, disebutkan bahwa Bangsa Celtik masih keturunan bangsa Arya dari daratan Asia yang menetap pertama kali di Eropa. Sudah dapat dipastikan, kalau memang tradisi Halloween pertama kali di bawa oleh bangsa Arya dari sekte Celtiks, maka pada dasarnya tradisi Halloween ini merupakan tradisi masyarakat timur. Dan salah satu ciri dari masyarakat timur ialah memgang kuat tahayul dan bersifat tradisonal. Dimana kita lihat bahwa kepercayaan mereka (masyarakat timur) terhadap roh nenek moyang dan benda-benda tertentu yang dipandang mempunyai kekuatan begitu kuat. Tradisi ini yang kemudian di awal-awal perkembangan manusia sebagai makhluk sosial dinamakan animisme dan dinamisme. Jelaslah bahwa, ternyata bukan hanya barat yang mengusung westernisme bagi masyarakat dunia, ternyata timur pun melakukan hal yang sama bagi masyarakat barat. di sini , saya melihat ternayata Masyarakat barat pun dalam hal-hal tertentu (terutama yang berhubungan dengan spiritualitas), banyak terpengaruhi oleh dunia timur dengan tradisi animisme dan dinamisme.

Awalnya, tradisi ini dimaksudkan sebagai bentuk penangkalan terhadap roh-roh jahat yang akan mengganggu roh-roh suci penyelamat mereka. Konon kabarnya, di malam 31 oktober, roh-roh orang yang meninggal akan berkeliaran dan merasuki mereka yang masih hidup. Sehingga untuk menangkalnya, di setiap malam tersebut dilakukan sebuah proses pensucian. Sehingga, malam pensucian yang dimaksud sering kali dinamakan “ Halloween “ yang berarti malam mensucikan, berasal dari kata All Hallows Eve. Dan seringkali hal ini dilakukan oleh para penganutnya dengan memakai kostum yang serba menyeramkan. Supaya roh yang hendak mengganggu menjadi takut dan malu.

Mengenai tradisi Trick-or-treat, ini merupakan tradisi tambahan saja yang dilakukan untuk meramaikan peringatan Halloween. Biasanya, di malam Halloween tersebut anak-anak secara berkelompok mengunjungi setiap rumah dan penghuni rumah tersebut harus memilih antara memberikan sejenis permen atau kue kepada anak tersebut atau memilih untuk dijahili saja. Sepintas, ini mengajarkan sebuah tradisi moral yang kurang baik. Dimana, ada bentuk ancaman dari peminta terhadap pemberi, “ mau dikerjain atau memberi hadiah” walaupun bentuknya bersifat hiburan.

Dan menganai simbol perayaan Halloween, sebuah labu yang berbentuk kepala setan, yang lazim disebut jack o latern, awalnya merupakan sebuah cerita atau mitos belaka. Dimana ada seorang pemuda yang bernama jack, ia merupakan rakyat Irlandia seorang penipu dan pemabuk. Ia memperdayai setan di atas pohon yang telah ia ukir dengan Salib. Otomatis setan tidak bisa turun dari pohon tersebut. Konon, ketika meninggal Jack berada di tengah-tengah antara surga dan neraka. Setan kemudian memberikan Jack bara api yang diletakan di dalam sebuah labu kuning, sebagai penerang jalan Jack yang gelap dan dingin. Sehingga, sejak saat itulah labu dijadikan sebagai penerang oleh rakyat Irlandia dan menjadi simbol Halloween.

Bagaimana tradisi ini bisa menjadi bagian dari tradisi kristiani?
Nah, sedikitpun tidak ada keterangan dalam pedoman umat kristiani untuk memperingati malam Halloween ini. Ini dipandang sebagai bentuk kebid’ahan (penyimpangan) oleh umat kristiani. Sejak dulu, Yesus tidak mengajarkan para penganutnya untuk melakukan sesuatu hal di luar ajarannya. Namun, kenakalan umatnya menyebabkan kemurnian ajaran Nashrani terkontaminasi oleh tradisi-tradisi masyarakat yang notabene diperuntukkan hanya sebagai wujud pesta huru-hara belaka.

Tradisi Halloween pertama kali dipandang sebagai ajaran kristen ialah saat pendeta Paus Grigorius pada tahun 835 M menetapkan tanggal 1 November sebagai hari peringatan orang-orang suci ( All Saint Day). Sehingga, sejak saat itu banyak penganut umat kristiani meyakini bahwa Halloween sebagai bagian dari ajaran Tuhan yang Kudus. Padahal, sedikitpun tidak ada keterangan tentang tradisi ini dari ajarannya.

Sayangnya, masyarakat timur, khususnya Indonesia yang dikatakan sebagai dunia ketiga ternyata sudah mulai meyakini pula dan memperingati tradisi Halloween ini. Walaupun memang masih terbatas di kalangan artis atau selebritis. Namun, ini adalah fakta, bagaimana faham western bisa merasuki gaya hidup masyarakat Indonesia. Kemudian apa yang harus dilakukan? Maka saya kira kita hanya harus melakukan bentuk survive dengan beragam cara supaya bisa memfilter stiap tradisi luar yang masuk ke negara kita. Sehingga, identitas bangsa tidak terpengaruhi dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia benar-benar bisa terjaga. Sebagai masyarakat agamis, masyarakat multikultural, dan masyarakat berbudaya.

Demikianlah refleksi saya terhadap peringatan Halloween, semoga kita bisa memfilter segala sesuatu yang dipandang baik, ternyata mendatangkan sesuatu yang tidak diinginkan.

MAHASISWA : Bukan Agen Perubah, Tapi Agen Perusak

Mahasiswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam kemodernan dan Keindonesiaan, merupakan Agent of Modernity, agent social of change. Pertanyaannya, seberapa jauh peran serta mahasiswa dalam melakukan perubahan terhadap kemandegan bangsa, agama dan negara dalam berbagai aspek kehidupan.
Mahasiswa dipandang sebagai lapisan masyarakat yang memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi. Dimana kepandaiannya tersebut, harusnya mereka bisa membuktikan bahwa konsepsi mahasiswa sebagai agen perubahan benar-benar bisa menjadi pemacu sekaligus pemicu untuk perbaikan bangsa dan negara.

Namun kiranya, peristiwa demonstrasi mahasiswa yang terjadi di Makasar beberapa hari kebelakang, menjadi salah satu bentuk kepincangan di kalangan mahasiswa. Demonstrasi mahasiswa yang dilakukan sebagai wujud kontrol terhadap pemerintah patut mendapat acungan jempol. Aspirasi yang mereka sampaikan tidak serta merta merupakan aspirasi yang hanya untuk kepntingannya sendiri. Melainkan aspirasi yang kemudian mereka bawa kepada pemerintah sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap kondisi masyarakat pada umumnya. Walaupun, kita tidak bisa men-generalisir hal tersebut. Namun, apakah pantas demonstrasi tersebut yang tadinya menginginkan sebuah perubahan, kemudian berbuah anarkisme yang kemudian kerusakan yang terjadi? Bukankah Tuhan melarang manusia untuk melakukan keruskan dimuka bumi ini?

Sebagai kaum yang dipandang terpelajar, harusnya mahasiswa malu dengan keadaan seperti itu. Memang, tidak ada salahnya, sebagai mahasiswa yang mengukuhkan diri menjadi pemberontak kebijakan pemerintah yang cenderung pro status quo, melakukan sebuah aksi masal guna menyelamatkan kepribadian bangsa. Artinya, saya memandang aksi tersebut sebagai sebuah gerakan pembaharuan terhadap semua bentuk kepincangan bangsa dan pemerintahan. Kalaulah saya menggunakan pendekatan John Stuart Mill, seorang filosof kebebasan, ia menganggap, manusia baik secara personal maupun komunal berhak melakukan apapun yang ingin ia lakukan selama apa yang ia lakukan mendatangkan kebaikan bagi dirinya dan orang lain.

Jelas sekali, Mill menganggap bahwa paksaan sosial tidak lagi berpengaruh bagi sebuah gerakan personal atau komunal, selama tidak mendatangkan kerugian bagi orang-orang sekitarnya. Artinya, jikalau saya mengkorelasikan apa yang diucapkan Mill dan demonstrasi mahasiswa, esensinya sama-sama menginginkan sebuah perubahan bagi masyarakat Indonesia. Namun, kemudian hal yang harus disesalkan adalah proses menuju kebebasan dan perubahan tersebut harus dinodai dengan aksi anarkis yang tentunya merugikan berbagai pihak.

Dalam hal ini, terdapat dua hal yang bersebarang. Di satu sisi, mahasiswa dengan gerakan aksinya itui mencoba menjadi komunitas pengendali pemerintahan, tetapi disisi lain ternyata mereka melakukan sesuatu hal yang merugikan untuk dirinya dan masyarkat umumnya. Pertanyaannya, ideologi pembebasan seperti apa yang kemudian mereka (para mahasiswa) usung untuk kemajuan bangsa ini? Apakah lantas perubahan yang berdasar pada peruskan, atau mungkin perubahan yang kemudian ingin didapat dengan sebuah proses perusakan terlebih dahulu?

Entahlah, yang jelas, sebagai mahasiswa saya hanya bisa mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan noda tersendiri bagi para mahasiswa yang harusnya menjadi agen perubah, ternyata hanya sekedar menorehkan kerusakan terhadap bangsa. Akibatnya, citra mahasiswa sebagai pengendali pemerintahan menjadi buruk hanya karena luapan emosi yang tidak seharusnya diungkapkan dengan kekerasan. Mahasiswa telah menodai etika, estetika dan nilai masyarakat.

Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan bahwa jadilah anda sebagai mahasiswa yang menjadi mahasiswa, jadilah anda yang bisa membebaskan diri anda untuk kehidupan bangsa dan negara, menjadi agent of change, yang senantiasa memperhatikan sesama, keluarga, masyarakat dan lingkungan.