SEARCHING THIS BLOGGER

Sabtu, 30 Oktober 2010

MAHASISWA : Bukan Agen Perubah, Tapi Agen Perusak

Mahasiswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam kemodernan dan Keindonesiaan, merupakan Agent of Modernity, agent social of change. Pertanyaannya, seberapa jauh peran serta mahasiswa dalam melakukan perubahan terhadap kemandegan bangsa, agama dan negara dalam berbagai aspek kehidupan.
Mahasiswa dipandang sebagai lapisan masyarakat yang memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi. Dimana kepandaiannya tersebut, harusnya mereka bisa membuktikan bahwa konsepsi mahasiswa sebagai agen perubahan benar-benar bisa menjadi pemacu sekaligus pemicu untuk perbaikan bangsa dan negara.

Namun kiranya, peristiwa demonstrasi mahasiswa yang terjadi di Makasar beberapa hari kebelakang, menjadi salah satu bentuk kepincangan di kalangan mahasiswa. Demonstrasi mahasiswa yang dilakukan sebagai wujud kontrol terhadap pemerintah patut mendapat acungan jempol. Aspirasi yang mereka sampaikan tidak serta merta merupakan aspirasi yang hanya untuk kepntingannya sendiri. Melainkan aspirasi yang kemudian mereka bawa kepada pemerintah sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap kondisi masyarakat pada umumnya. Walaupun, kita tidak bisa men-generalisir hal tersebut. Namun, apakah pantas demonstrasi tersebut yang tadinya menginginkan sebuah perubahan, kemudian berbuah anarkisme yang kemudian kerusakan yang terjadi? Bukankah Tuhan melarang manusia untuk melakukan keruskan dimuka bumi ini?

Sebagai kaum yang dipandang terpelajar, harusnya mahasiswa malu dengan keadaan seperti itu. Memang, tidak ada salahnya, sebagai mahasiswa yang mengukuhkan diri menjadi pemberontak kebijakan pemerintah yang cenderung pro status quo, melakukan sebuah aksi masal guna menyelamatkan kepribadian bangsa. Artinya, saya memandang aksi tersebut sebagai sebuah gerakan pembaharuan terhadap semua bentuk kepincangan bangsa dan pemerintahan. Kalaulah saya menggunakan pendekatan John Stuart Mill, seorang filosof kebebasan, ia menganggap, manusia baik secara personal maupun komunal berhak melakukan apapun yang ingin ia lakukan selama apa yang ia lakukan mendatangkan kebaikan bagi dirinya dan orang lain.

Jelas sekali, Mill menganggap bahwa paksaan sosial tidak lagi berpengaruh bagi sebuah gerakan personal atau komunal, selama tidak mendatangkan kerugian bagi orang-orang sekitarnya. Artinya, jikalau saya mengkorelasikan apa yang diucapkan Mill dan demonstrasi mahasiswa, esensinya sama-sama menginginkan sebuah perubahan bagi masyarakat Indonesia. Namun, kemudian hal yang harus disesalkan adalah proses menuju kebebasan dan perubahan tersebut harus dinodai dengan aksi anarkis yang tentunya merugikan berbagai pihak.

Dalam hal ini, terdapat dua hal yang bersebarang. Di satu sisi, mahasiswa dengan gerakan aksinya itui mencoba menjadi komunitas pengendali pemerintahan, tetapi disisi lain ternyata mereka melakukan sesuatu hal yang merugikan untuk dirinya dan masyarkat umumnya. Pertanyaannya, ideologi pembebasan seperti apa yang kemudian mereka (para mahasiswa) usung untuk kemajuan bangsa ini? Apakah lantas perubahan yang berdasar pada peruskan, atau mungkin perubahan yang kemudian ingin didapat dengan sebuah proses perusakan terlebih dahulu?

Entahlah, yang jelas, sebagai mahasiswa saya hanya bisa mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan noda tersendiri bagi para mahasiswa yang harusnya menjadi agen perubah, ternyata hanya sekedar menorehkan kerusakan terhadap bangsa. Akibatnya, citra mahasiswa sebagai pengendali pemerintahan menjadi buruk hanya karena luapan emosi yang tidak seharusnya diungkapkan dengan kekerasan. Mahasiswa telah menodai etika, estetika dan nilai masyarakat.

Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan bahwa jadilah anda sebagai mahasiswa yang menjadi mahasiswa, jadilah anda yang bisa membebaskan diri anda untuk kehidupan bangsa dan negara, menjadi agent of change, yang senantiasa memperhatikan sesama, keluarga, masyarakat dan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar